Solus POPULI Suprema LEX

Kesejahteraan Rakyat adalah Aturan Tertinggi
Home » » Tujuan Hukum Pidana

Tujuan Hukum Pidana

Written By Bang UFIK on Rabu, 10 Januari 2024 | 22.29

Tujuan Hukum Pidana (strafrechtscholen) pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi, dari kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.

1.      Aliran Tujuan Hukum Pidana

Berkenaan dengan   tujuan   hukum   pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:

a.       Aliran klasik

Menurut aliran Klasik, tujuan susunan hukum pidana adalah melindungi  individu  dari  kekuasaan penguasa atau negara yang sewenang-wenang. Pengikut aliran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin kepentingan hukum individu (perseorangan).  Aliran klasik ini lahir sebagai reaksi terhadap ancient regime yang abtrair pada abad ke 18 di Prancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan menitikberatkan pada kepastian hukum.[1] Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara).  Peletak  dasarnya  adalah  Markies van  Beccaria  yang  menulis  tentang  "Dei  delitte edelle   pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur   dengan undang-undang yang harus tertulis.  Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan Raja Absolute dapat   menyelenggarakan   pengadilan   yang   sewenang-wenang dengan menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyatakan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J.  Rousseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan Raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis atau undang-undang.  Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk  melindungi individu  guna kepentingan hukum perseorangan.

Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu   peraturan   tertulis   supaya setiap   orang   mengetahui   tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan akan terjamin hak-hak manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan  melahirkan  kepastian  hukum  serta  dapat  menghindarkan  masyarakat  dari kesewenang- wenangan.  Pengikut-pengikut  ajaran  ini  menganggap bahwa  tujuan  hukum  pidana  adalah untuk   menjamin   kepentingan hukum   individu.[2]  Setiap   perbuatan   yang   dilakukan   oleh seseorang  (individu)  yang  oleh  undang-undang  hukum  pidana  dilarang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan pidana.  Menurut  aliran  klasik,  penjatuhan  pidana  dikenakan  tanpa memperhatikan   keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum,   mengenai sebab-sebab   yang mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang melakukan  kejahatan  maupun  bagi  masyarakat  sendiri  (politik kriminil).[3]

b.       Aliran Modern (Modern School)

Menurut aliran Modern, tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar kepentingan hukum masyarakat terlindungi. Aliran modern (de moderne   school/de moderne richting) mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut, perkembangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta keadaan penjahat.[4] Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan hukum masyarakat.[5]

Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan:

1.     Memerangi  kejahatan,  dalam  hal  ini  Cesare  Lombroso  melakukan  studi  sistematis mengenai tingkah laku manusia dalam rangka mengatasi kejahatan dalam masyarakat.

2.     Memperhatikan ilmu lain, yakni dengan memperhatikan ilmu lain berupa kriminologi, psikologi dll.

3.       Ultimatum remedium berarti hukum pidana merupakan senjata atau sarana terkahir yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum


2.      Tujuan Pemidanaan

Salah satu cara/alat untuk  mencapai tujuan  hukum pidana adalah memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Persoalannya sekarang ialah, “apakah dasar dari pemidanaan?” Atau “apa alasannya untuk membenarkan penjatuhan pidana oleh penguasa?” (Sianturi, 1986: 57). Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka di dalam ilmu hukum pidana mengenal teori-teori tujuan pemidanaan yang dijadikan dasar atau alasan sehingga pemerintah atau pihak penguasa menjatuhkan sanksi pidana kepada seseorang yang dianggap telah melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan. Teori-teori tersebut adalah Teori Absolut atau Teori Mutlak, Teori Relatif atau Teori Nisbi, dan Teori Gabungan.

a.   Teori Absolut atau Mutlak

Teori Absolut sering juga disebut dengan Teori Pembalasan karena membenarkan  pembalasan berupa pidana, yang mutlak/harus dilakukan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan, tanpa melihat akibat-akibat apa pun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Pidana dijatuhkan tanpa mempedulikan apakah masyarakat dengan dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan, sebab yang dilihat hanyalah masa lalu saat terjadinya tindak pidana. Tidak melihat ke masa yang memberi kesempatan atau kemungkinan kepada pelaku kejahatan untuk diperbaiki atau untukmemperbaiki  sendiri kesalahannya, dan masa yang dimaksud itu adalah masa depan (Prodjodikoro, 2003: 23). Sianturi (1986: 59-60) membagi Teori Absolut atau Pembalasan ke dalam lima teori yaitu:

1)   Teori Pembalasan berdasarkan tuntutan  mutlak dari etika (moraal philosophie). Teori ini mengatakan bahwa pemidanaan adalah tuntutan mutlak dari hukum kesusilaan kepada seorang penjahat yang telah merugikan orang lain.Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mempunyai jalan pikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan  ketidakadilan, maka ia harus dibalas dengan ketidakadilan pula (Poernomo, 1992: 27).

2)   Teori Pembalasan “bersambut” (dialektis). Teori ini dikemukakan oleh Hegel yang mengatakan bahwa hukum atau keadilan adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan merupakan penyangkalan kepada hukum dankeadilan. Karenanya, untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan pula ketidakadilan (pidana) kepada penjahat.

3)   Teori Pembalasan demi “keindahan” atau kepuasan (estetika). Teori ini dikemukakan oleh Herbert yang mengatakan bahwa akan timbul perasaan ketidakpuasan dari masyarakat sebagai akibat terjadinya suatu kejahatan. Oleh karena itu tuntutan mutlak dari masyarakat untuk memidana penjahat harus dilakukan agar ketidakpuasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan kembali.

4)   Teori Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan, dikemukakan oleh Stahl dan dianut pula oleh Gewin dan Thomas Aquino. Menurut teori ini bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap pri-keadilan Tuhan sehingga harus ditiadakan. Demi terpeliharanya pri- keadilan Tuhan  tersebut, maka penderitaan  mutlak harus diberikan kepada penjahat. Cara mempertahankan dan memelihara pri-keadilan tersebut adalah melalui kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan kepada penguasa negara.

5)   Teori Pembalasan sebagai kehendak manusia, dianut oleh para sarjana dari mazhab Hukum  Alam yang memandang negara sebagai hasil dari kehendak manusia dan pemidanaan juga sebagai perwujudan kehendak manusia. Menurut teori ini, warga-warga negara telah menyerahkansebagiandarihakmereka kepadanegara dan sebagai imbalannya mereka memperoleh perlindungan atas kepentingan hukumnya. Jika kepentingan hukum ini terganggu karena suatu kejahatan, maka kepada penjahat mutlak diberikan pembalasan berupa pidana untuk menjamin perlindungan hukum tersebut. Teori ini dianut antara lain oleh Jean Jacques Rousseau, Grotius, Beccaria, dan lain-lain.

b.     Teori Relatif atau Nisbi

Teori-teori yang tergabung dalam teori relatif membenarkan pemidanaan berdasarkan atau bergantung pada tujuan pemidanaan itu sendiri, yakni perlindungan masyarakat dan pencegahan terjadinya kejahatan (Sianturi, 1986: 61). Menurut teori relatif, suatu kejahatan tidak mutlak harus langsung diikuti dengan suatu pidana, karena penjatuhan pidana tersebut tidaklah cukup hanya dengan suatu kejahatan saja. Yang menjadi pertimbangan dalam teori ini adalah manfaat suatu pidana bagi masyarakat dan bagi si penjahat itu sendiri, dengan mempertimbangkan perbaikan ke masa depan tetapi tanpa melupakan masa lalu. Karena harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya sekedar menjatuhkan pidana saja, maka teori-teori ini dinamakan juga teori tujuan (Prodjodikoro, 2003: 25). Pada umumnya para ahli/sarjana hukum membagi teori tujuan menjadi teori pencegahan (prevensi) dan teori perbaikan /pendidikan (verbeterings theorie).

1)   Teori Prevensi membenarkan ancaman dan penjatuhan pidana yang berat dengan tujuan agar orang menjadi takut melakukan kejahatan dan kejahatan yang pernah terjadi/dilakukan, tidak akan terulang lagi di kemudian hari.

§  Prevensi khusus, hal membuat  takut  ditujukan kepada penjahat agar tidak lagi mengulangi berbuat kejahatan.

§  Prevensi umum,  hal membuat  takut  ditujukan kepada setiap orang agar takut melakukan kejahatan.

2)   Teori Perbaikan membenarkan dijatuhkannya pidana untuk memberikan pendidikan kepada penjahat agar menjadi orang baik sehingga kelak dapat kembali ke tengah masyarakat dengan mental yang baik dan tidak akan lagi melakukan kejahatan.

§  Perbaikan yuridis bertujuan untuk memperbaiki sikap penjahat dalam menaati undang-undang.

§  Perbaikan intelektual bertujuan untuk memperbaiki cara berpikir si penjahat ia insyaf akan keburukan suatu kejahatan.

§  Perbaikan moral bertujuan untuk memperbaiki rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

c.     Teori Gabungan

Apabila terdapat dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Demikian juga halnya di samping teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” (vergelding), dan di pihak lain mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap penjatuhan pidana (Prodjodikoro, 2003: 26). Teori inilah yang disebut dengan teori gabungan karena menggabungkan tujuan pidana sebagai “pembalasan” dengan tujuan pemidanaan demi pencegahan terjadinya kejahatan dan perbaikan si penjahat itu sendiri. Vos berpendapat (Poernomo, 1992: 31) bahwa di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran yaitu:

 

1.    Teori gabungan yang menitikberatkan  pembalasan tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban hukum. Pada hakikatnya pidana merupakan “ultimatum remedium” yang berarti bahwa penjatuhan pidana merupakan jalan terakhir yang boleh digunakan apabila sudah tidak ada jalan lain. Penegak aliran ini adalah Zeven Bergen.

2.    Teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan ketertiban masyarakat. Secara prevensi umum, pencegahan kejahatan diletakkan pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus, pencegahan kejahatan terletak pada sifat pidananya yang menakutkan, memperbaiki dan membinasakan. Secara absolut, pidana harus disesuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat. Penganutnya adalah Simons.

3.    Teori gabungan yang penitikberatannya sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat. Karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat, maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu pidana yang adil dengan ide pembalasan yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun  secara positif. Penganutnya adalah De Pinto.

3.      Tujuan Hukum Pidana di Indonesia

Jika rakyat Prancis yang tidak dijajah (sebelum revolusi Perancis) mengalami perkosaan kepentingan hukumnya. Dapat dibayangkan betapa pahitnya pengalaman rakyat Indonesia yang mempunyai sejarah dalam sekian kali dijajah yang silih berganti. Pada masa itu, hukum adat kita yang didalamnya terdapat delik adat sedang berkembang menuju pemenuhan perasaan keadilan masyarakat sempat terhenti akibat dari penjajahan dan tentunya penjajah membuat peraturan yang lebih mengutamakan kepentingannya. Mengenai perkembangan hukum adat ini Supomo mengatakan : “Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru sedangkan peraturan baru itu berkembang juga, akan tetapi kemudian akan lenyap dengan adanya perubahan perasaaan keadilan yang menimbulkan perubahan peraturan”.[6]

Sesudah Indonesia merdeka sudah selayaknya dan seharusnya hukum pidana Indonesia (bukan hukum pidana di Indonesia) disusun dan merumuskan sedemikian rupa, agar semua kepentingan negara, maysrakat dan individu diayomi dalam keseimbangan  dan  keserasian berdasarkan Pancasila. Demikian juga tujuan hukum pidana Indonesia adalah pengayoman semua kepentingan secara seimbang dan serasi.



[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 25.

[2] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm. 56

[3] Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Ghalia Indonesia., 1994, hlm. 25

[4] Ibid.

[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 56

[6] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm.56-57

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini

Comment

Jual Buku Perundang Undangan

Jual Buku Perundang Undangan
Jual Buku Hukum Ilmu Perundang Undangan : 3 Undang Undang Dasar RI / KUH Perdata / KUHD / KUHP Dan KUHAP / UUD 1945 Best Seller

Artikel Terbaru

>

Popular Posts

Random Artikel

Statistik Kunjungan

Taufik Irawan

Taufik Irawan
Pemerhati Hukum di Palangka Raya
 
Support : Promo dan Konsultasi : taufik.irawan79@yahoo.co.id
Copyright © 2013. Bang UFIK Youtube Channel - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger