Solus POPULI Suprema LEX

Kesejahteraan Rakyat adalah Aturan Tertinggi
Home » » Pembagian Hukum Pidana

Pembagian Hukum Pidana

Written By Bang UFIK on Selasa, 09 Januari 2024 | 22.45

 

1.      Hukum Pidana Dalam Arti Obyektif dan Subyektif

Dalam ilmu hukum pidana dikenal perbedaan antara “ius punale” dan “ius puniendi”. Terjemahan istilah “ius punale” adalah hukum pidana, sedangkan terjemahan “ius puniendi” adalah hak memidana, dalam bahasa latin “ius “dapat diartikan sebagai hukum maupun hak. Hazewinkel Suringa mendefinisikan hukum pidana   objektif   yang   juga   disebut   sebagai   ius poenale    sebagai    perintah    dan    larangan,    yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut diancam     pidana     oleh     badan     yang    berhak; ketentuan-ketentuan  mengenai  upaya-upaya  yang dapat  digunakan  jika  norma  itu  dilanggar  yang disebut sebagai hukum penitentiaire tentang hukum dan  sanksi   dan  aturan-aturan   yang  menentukan kapan   dan  dimana   berlakunya   norma   tersebut. Sedangkan hukum pidana yang subjektif  atau  ius puniendi   menurut   Suringa   adalah   hak   negara untuk  menuntut  pidana,  hak  untuk  menjatuhkan pidana   dan   hak   untuk    melaksanakan    pidana (Suringa, 1953: 1).

Senada dengan Suringa adalah Vos yang juga   membagi   hukum   pidana   menjadi   hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Secara tegas dinyatakan oleh Vos bahwa hukum pidana terdiri dari objektif (ius poenale) dan subjektif (ius puniendi).  Ius poenale adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni   aturan   hukum   pidana.   Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang timbul dan tidak sesuai   dengan hukum serta hukum acara beserta     sanksi (hukum    penintentiair) aturan mengenai   kapan, siapa   dan   bagaimana   pidana dijatuhkan.   Sedangkan   hukum   pidana   subjektif atau jus puniendi – masih menurut Vos – adalah hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut   pidana, menjatuhkan pidana dan melaksanakan (Suringa, 1953: 2).

Demikian pula Simons mengatakan bahwa Hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana   objektif   dan   hukum   pidana    subjektif. Hukum pidana objektif adalah seluruh larangan atau dilarang sebagai pelanggaran oleh negara atau kekuasaan   umum   yang   dapat   dikenai   pidana terhadap   pelanggar dan   bagaimana   pidana   itu diterapkan. Hukum pidana objektif adalah hukum pidana  positif  atau  ius  poenale.  Hukum pidana subjektif adalah hak negara memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan, disebut juga ius puniendi (Simons, 1937: 1).

Berdasarkan  apa  yang  dikemukakan  oleh Suringa, Vos dan Simons dapat disimpulkan bahwa hukum pidana objektif berkaitan dengan substansi hukum  pidana  yang  berisi   perbuatan-perbuatan yang dilarang dan formil hukum pidana sepanjang menyangkut   acara   pengenaan   pidana   tersebut. Sedangkan   hukum   pidana   subjektif   terkait   hak negara untuk melaksanakan kewenangan terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana.

Menurut Satochid Kartanegara bahwa hukum pidana itu dapat dipandang dari sudut:

1.      Hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale).

2.      Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi).

a)      Hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale) adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan di mana terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. Ius poenale dapat dibagi dalam:

(a) hukum pidana materiil,

(b) hukum pidana formil.

b)      Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.[1]

Adapun hak negara yang tercantum dalam hukum pidana subjektif (ius puniendi), yaitu:

(a)    hak negara untuk memberikan ancaman hukuman,

(b)    hak Jaksa untuk  menuntut pelaku  tindak  pidana,

(c)    hak hakim untuk memutuskan suatu perkara.

 


2.        Hukum Pidana Dalam Arti Materiil dan Formil

Pembagian hukum pidana menjadi  hukum pidana materiil  dan formil secara tegas  dikatakan oleh van Hamel, “..... hukum pidana biasanya juga meliputi pemisahan dua bagian, yang materiil dan yang formal.  Hukum pidana materiil menunjuk pada   asas-asas   dan   ketentuan-ketentuan    yang menetapkan   pidana   bagi   yang   melanggarnya ; yang  formal  mengenai  bentuk  dan  jangka  waktu yang   mengikat   penegakan   hukum   materiil.....” (Van Hamel, 1913: 4).

Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut van Hattum :

a.     Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang  tindakan-tindakan  yang  mana adalah  merupakan  tindakan-tindakan yang  dapat  dihukum, siapakah  orangnya  yang  dapat  dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan  hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.

b.     Hukum pidana formil memuat peraturan- peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Sejumlah   peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman. yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum Pidana Materiil), disebut juga Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan  serta cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana.

Hukum    pidana    materiil    di     Indonesia dikodifikasikan     dalam    Kitab    Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada tahun 1946 dengan Undang-Undang   Nomor   1   Tahun   1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan perubahan dan tambahan     hukum     pidana     materiil     tersebut diberlakukan  secara  univikasi  di  seluruh wilayah Republik  Indonesia.  Ketentuan Pasal VI Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 merubah nama resmi Wetbook    van    Strafrecht    voor    Nederlandsch-Indie menjadi Wetbook van Strafrecht atau Kitab Undang- Undang   Hukum    Pidana   yang   masih   berlaku sampai  dengan  saat  ini.  KUHP terdiri dari tiga buku dan 569 Pasal.

Berbeda   dengan   KUHP, Kitab   Undang- Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang kita    miliki    merupakan    karya    agung    Bangsa Indoensia.  KUHAP adalah hukum pidana formil atau hukum acara pidana yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana materiil. Tegasnya, KUHAP   berisi tata cara atau proses terhadap    seseorang    yang    melanggar    hukum pidana.   KUHAP   diundangkan   dengan   Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari 22 bab dan 286 pasal.

3.    Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)

a.       Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah:  Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

b.      Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang  tersebar  di  luar  KUHP,  seperti  UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No.  31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU   No.   9   Tahun   1998   tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.

4.   Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel)

a.       Hukum pidana  bagian  umum  ini  memuat  asas-asas  umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;

b.      Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan   dan   Pelanggaran-pelanggaran, baik   yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.

Hukum  pidana umum  (algemeen  strafrecht)  dan  hukum  pidana khusus (bijzonder strafrecht) van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana  umum  adalah  hukum  pidana  yang  dengan  sengaja  telah dibentuk  untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan  hukum  pidana  khusus  adalah hukum  pidana  yang  dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang- orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.[2]

5.       Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis.

Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis.   Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal   1   KUHP, tetapi sekiranya   di desa-desa daerah pedalaman   di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas.  Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor:14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah melakukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP. Dengan demikian  sistim  hukum  pidana di  Indonesia  mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari  masih  diakuinya hukum  yang hidup  di  dalam  masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.

6.       Hukum   pidana   umum (algemeen   strafrecht) dan   hukum   pidana lokal (plaatselijk strafrecht) Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana   nasional.[3]  Hukum   pidana   umum   adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi   subjek   hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan  hukum  pidana  di  seluruh  wilayah  hukum  negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan  daerah  tersebut.  Hukum pidana lokal dapat dijumpai   di   dalam   Peraturan   Daerah   baik   tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.

Penjatuhan   hukuman   seperti   yang   diancamkan   terhadap   setiap pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan.  Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan dan   penyitaan   pemerintah   daerah   berikut   alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[4] Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih   juga   dapat   dibedakan   antara   hukum   pidana   nasional   dan hukum   pidana internasional (hukum   pidana   supra nasional). Hukum   pidana   internasional   adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

a.   Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;

b.      Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.[5]



[1] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tt), hlm. 1-2.

[2] P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,Bandung, hlm.11

[3]Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta,  13.

[4] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 12

[5] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 14

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini

Comment

Jual Buku Perundang Undangan

Jual Buku Perundang Undangan
Jual Buku Hukum Ilmu Perundang Undangan : 3 Undang Undang Dasar RI / KUH Perdata / KUHD / KUHP Dan KUHAP / UUD 1945 Best Seller

Artikel Terbaru

>

Popular Posts

Random Artikel

Statistik Kunjungan

Taufik Irawan

Taufik Irawan
Pemerhati Hukum di Palangka Raya
 
Support : Promo dan Konsultasi : taufik.irawan79@yahoo.co.id
Copyright © 2013. Bang UFIK Youtube Channel - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger