Dalam ilmu hukum pidana dikenal perbedaan antara “ius punale” dan “ius puniendi”. Terjemahan istilah “ius punale” adalah hukum pidana, sedangkan terjemahan “ius puniendi” adalah hak memidana, dalam bahasa latin “ius “dapat diartikan sebagai hukum maupun hak. Hazewinkel Suringa mendefinisikan hukum pidana objektif yang juga disebut sebagai ius poenale sebagai perintah dan larangan, yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut diancam pidana oleh badan yang berhak; ketentuan-ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat digunakan jika norma itu dilanggar yang disebut sebagai hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi dan aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma tersebut. Sedangkan hukum pidana yang subjektif atau ius puniendi menurut Suringa adalah hak negara untuk menuntut pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk melaksanakan pidana (Suringa, 1953: 1).
Senada dengan Suringa adalah Vos yang juga membagi hukum pidana menjadi hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Secara tegas dinyatakan oleh Vos bahwa hukum pidana terdiri dari objektif (ius poenale) dan subjektif (ius puniendi). Ius poenale adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni aturan hukum pidana. Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum penintentiair) aturan mengenai kapan, siapa dan bagaimana pidana dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana subjektif atau jus puniendi – masih menurut Vos – adalah hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana, menjatuhkan pidana dan melaksanakan (Suringa, 1953: 2).
Demikian pula Simons mengatakan bahwa Hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Hukum pidana objektif adalah seluruh larangan atau dilarang sebagai pelanggaran oleh negara atau kekuasaan umum yang dapat dikenai pidana terhadap pelanggar dan bagaimana pidana itu diterapkan. Hukum pidana objektif adalah hukum pidana positif atau ius poenale. Hukum pidana subjektif adalah hak negara memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan, disebut juga ius puniendi (Simons, 1937: 1).
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Suringa, Vos dan Simons dapat disimpulkan bahwa hukum pidana objektif berkaitan dengan substansi hukum pidana yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan formil hukum pidana sepanjang menyangkut acara pengenaan pidana tersebut. Sedangkan hukum pidana subjektif terkait hak negara untuk melaksanakan kewenangan terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana.
Menurut Satochid Kartanegara bahwa hukum pidana itu dapat dipandang dari sudut:
1. Hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale).
2. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi).
a) Hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale) adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan di mana terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. Ius poenale dapat dibagi dalam:
(a) hukum pidana materiil,
(b) hukum pidana formil.
b) Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.[1]
Adapun hak negara yang tercantum dalam hukum pidana subjektif (ius puniendi), yaitu:
(a) hak negara untuk memberikan ancaman hukuman,
(b) hak Jaksa untuk menuntut pelaku tindak pidana,
(c) hak hakim untuk memutuskan suatu perkara.
2. Hukum Pidana Dalam Arti Materiil dan Formil
Pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana materiil dan formil secara tegas dikatakan oleh van Hamel, “..... hukum pidana biasanya juga meliputi pemisahan dua bagian, yang materiil dan yang formal. Hukum pidana materiil menunjuk pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang menetapkan pidana bagi yang melanggarnya ; yang formal mengenai bentuk dan jangka waktu yang mengikat penegakan hukum materiil.....” (Van Hamel, 1913: 4).
Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut van Hattum :
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan- peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Sejumlah peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman. yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum Pidana Materiil), disebut juga Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan serta cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana.
Hukum pidana materiil di Indonesia dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada tahun 1946 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan perubahan dan tambahan hukum pidana materiil tersebut diberlakukan secara univikasi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Ketentuan Pasal VI Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 merubah nama resmi Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetbook van Strafrecht atau Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini. KUHP terdiri dari tiga buku dan 569 Pasal.
Berbeda dengan KUHP, Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang kita miliki merupakan karya agung Bangsa Indoensia. KUHAP adalah hukum pidana formil atau hukum acara pidana yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana materiil. Tegasnya, KUHAP berisi tata cara atau proses terhadap seseorang yang melanggar hukum pidana. KUHAP diundangkan dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari 22 bab dan 286 pasal.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel)
a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht) van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang- orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.[2]
5. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis.
Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.
Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor:14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah melakukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP. Dengan demikian sistim hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.
6. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk strafrecht) Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana nasional.[3] Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[4] Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana supra nasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:
a. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.[5]
[1] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tt), hlm. 1-2.
[2] P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,Bandung, hlm.11
[3]Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 13.
[4] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 12
[5] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 14
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini