BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan proses kompleks yang mencerminkan nilai-nilai dasar demokrasi, keadilan, dan partisipasi politik. Dalam pemahaman ini, pemilu tidak hanya dianggap sebagai proses teknis untuk memilih para pemimpin politik (anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden, DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota), tetapi juga sebagai cerminan dari prinsip-prinsip filosofis yang mendasari sistem hukum dan pemerintahan suatu negara. Pemilu dalam tinjauan filsafat hukum menekankan pada prinsip demokrasi sebagai sarana utama untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik dengan memberikan suara mereka. Ini mencerminkan keyakinan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan harus dikembalikan kepada mereka melalui mekanisme demokratis seperti pemilu.
Selanjutnya, pemilu juga menyoroti konsep keadilan dalam filsafat hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum menjadi dasar bagi pemilu yang adil dan transparan. Setiap pemilih harus memiliki kesempatan yang sama untuk memengaruhi hasil pemilihan, tanpa diskriminasi atau penindasan. Selain itu, pemilu juga dilihat dalam konteks partisipasi politik yang berkelanjutan. Filsafat hukum menekankan pentingnya keterlibatan warga negara dalam proses politik tidak hanya selama masa pemilu, tetapi juga sepanjang periode antara pemilihan. Ini mencerminkan gagasan bahwa keterlibatan aktif dari masyarakat sipil adalah kunci keberhasilan demokrasi yang sehat.
Hukum pada hakikatnya adalah filsafat (philosophy), hal ini menyebabkan filsafat hukum itu unik, yang dikenal dengan konsep sui generis. Filsafat hukum nyaris tidak dapat diperbandingkan dengan filsafat pada umumnya. Begitu pula dengan hukum tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlaku di dalam suatu sistem hukum harus tetap menjadi pendirian, dasar pijakan tentang filsafat hukum Pemilu.
Berfilsafat Pemilu[1], dengan demikian adalah kegiatan berpikir dalam rangka menemukan rasionalisasi atau penalaran terhadap Pemilihan Umum (Pemilu) dalam suatu undang-undang sebagai suatu bentuk/manifestasi dari jiwa bangsa (Volksgeist). Undang-Undang tentang Pemilihan Umum itu pada hakikatnya adalah Filsafat Pemilihan Umum atau Filsafat Hukum, Jurisprudence dan ilmu Pemilu. Salah satu latar belakang seseorang berfilsafat adalah rasa ingin tahu[2], termasuk mencoba memahami penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah hakikat pemilihan umum (Pemilu) ?
2. Bagaimanakah sistem pemilihan umum di Indonesia?
3.
Apa tujuan atau
manfaat Pemilihan Umum (Pemilu) ?
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas yaitu :
1. Untuk mengetahui hakikat (ontologi) pemilihan umum (pemilu).
2. Untuk mengetahui bagaimana (epistemologi) system pemilu di Indonesia.
3. Untuk mengetahui tujuan atau manfaat (aksiologi) pemilihan umum.
D. MANFAAT PENULISAN MAKALAH
Adapun manfaat yang ingin diberikan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan gambaran kepada khalayak umum mengenai hakikat (ontologi) pemilihan umum (pemilu).
2. Memberikan informasi tentang bagaimana (epistemologi) sistem pemilu di Indonesia.
3. Memberikan informasi tentang tujuan atau manfaat (aksiologi) pemilihan umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi Pemilihan Umum
Secara etimologis, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu ontos yang memiliki arti ada atau keberadaan dan logos yang berarti studi atau ilmu tentang. Jadi, secara sederhana, ontologi berarti ilmu atau studi tentang keberadaan atau ada.[3] Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.[4]
Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, properti dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.[5] Ontologi adalah pendekatan yang membahas konsep-konsep yang menyangkut konsep-konsep substansi, proses, waktu, ruang, kausalitas, hubungan budi dan materi, serta status dari entitas-entitas teoretis.[6]
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.[7] Pemilu adalah pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan tertentu. Untuk itu pemilihan umum sangat penting karena dalam pemilu terjadi pelaksanaan kedaulatan rakyat. [8]
Pemilihan umum merupakan bentuk implementasi dari sistem demokrasi juga dari penerapan sila keempat Pancasila dan pasal 1 (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan mekanisme untuk memilih wakil rakyat di badan Eksekutif maupun Legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Pemilihan umum di Indonesia sejak 1955 hingga saat ini mengalami banyak sekali perubahan dari aspek kerangka hukum, penyelenggara, tahapan, peserta, kelembagaan, pelanggaran, maupun manajemen pelaksaannya. Salah satu ukuran dalam menilai suksesnya penyelenggaraan pemilihan umum adalah partispasi politik yang diwujudkan dengan pemberian hak suara oleh masyarakat yang telah mempunyai hak pilih, boleh dikatakan bahwa semakin tinggi partipasi masyarakat dalam pemilihan umum itu semakin baik.[9]
B. Epistemologi Pemilihan Umum di Indonesia
Epistemologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang artinya pengetahuan, dan “logos” yang artinya teori.[10] Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan, yang maksudnya adalah bagaimana proses pengetahuan itu didapatkan meliputi metode, kritik, logika pemikiran, dan teori-teori secara keseluruhan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
Filsafat mengenai Pemilu tidak dapat dilepaskan dari konsep Penyelenggara Pemilu itu sendiri. Pada Prinsipnya, dalam demokrasi Penyelenggara Pemilu adalah Rakyat itu sendiri. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan dapat menentukan keputusan-keputusan politik dijamin dengan adanya pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang Dasar. Berdasarkan rumusan pasal tersebut jelas bahwa negara Indonesia wajib menjamin terlaksananya sebuah pemilihan umum yang bebas tanpa terkecuali, sebagai bukti bahwa Indonesia menjamin kedaulatan rakyat, pada konteks ini pemilihan umum berada pada dimensi hukum sebagai wujud hak asasi manusia.[11]
1. Asas-asas Pemilu di Indonesia
Undang-undang pemilu menetapkan secara konsisten enam asas pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.[12] Hal ini menunjukkan bahwa asas tersebut merupakan prinsip fundamental pemilu.[13] Berikut penjelasan asas-asas pemilu :
1) Langsung
Pemilih berhak memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan hati nuraninya tanpa perantara.[14] Asas ini berkaitan dengan “demos” untuk memilih secara langsung wakil-wakil yang duduk di parlemen. Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, anpa perantara. Hak ini tidak diwakilkan kepada seseorang atau sekelompok orang. Penggunaan hak direct, langsung kepada siapa yang mau diberikan kekuasaan.[15]
2) Umum (Algemene, General)
Semua warga Negara yang telah memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang berhak mengikuti pemilu tanpa ada diskriminasi.[16] Umum berarti pada dasaranya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga yang telah telah memenuhu persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.[17]
3) Bebas (Vrije, Independent)
Bebas berarti setiap Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Didalam melaksankan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya. Didalam demokrasi, kebebasan merupakan prinsip yang sangat penting dan utama.Dengan pemilu, kekuasaan dapat diganti secara regular dan tertib. Dengan demikian, semua warga Negara diberi kebebasan untuk memilih dan dipilih tanpa interverensi dan tanpa tekanan dari siapa pun.[18]
4) Rahasia (Vertrouwelijk, Secret)
Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Kerahasiaan ini merupakan trantai dari “makna” kebebasan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
5) Jujur (Eerlijk, Honest)
Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, peneyelenggaraan/ pelaksanaan, pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
6) Adil (Rechtvaardig, Fair)
Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun. Adil memiliki dua makna, yakni: adil sebagai sikap moral dan adil karena perintah hukum. Oleh karena itu pemilu memerlukan sikap fair dari semua pihak, baik dari masyarakat, pemilih, partai politik maupun penyelenggara pemilu. Sikap adil ini dilakukan agar tetap menjaga kualitas pemilu yang adil dan tidak berpihak kepada kepentingan individu dan kelompok tertentu.[19]
Dengan menggunakan hukum sebagai sarana, terutama konstitusi sekaligus tujuan antara lain keadilan di dalamnya, Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tersebut kemudian mengamanatkan penyelenggaraan Pemilu itu kepada Penyelenggara.[20] Pemilu dilaksanakan serentak diseluruh wilayah indonesia[21], berikut akan dijelaskan proses dan pelaksanaan/penyelenggaraan pemilu[22]:
2. Penyelenggaraan Pemilu di indonesia
Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas pemilu (BAWASLU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu.[23] KPU ada yang berkedudukan di pusat ada yang di daerah. KPU pusat bertugas mengurus pelaksanaan pemilu di tingkat nasional. Adapun KPU ditingkat daerah bertugas menyelenggarakan pemilihan ditingkat daerah.[24] Penyelenggaraan pemilu telah diatur dalam uu no. 7 tahun 2017, bahwa pemilu di negara kita untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Penyelenggaraan pemilu meliputi beberapa kegiatan yaitu kegiatan pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, kampanye peserta pemilu serta pemungutan dan penghitungan suara.
a. Pendaftaran Pemilih
Pendaftaran pemilih dilakukan oleh petugas khusus, petugas tersebut mendaftarkan pemilih dengan mendatangi kediaman calon pemilih. Warga yang berhak memilih harus memenuhi beberapa persyaratan, berikut beberapa persyaratan agar dapat menjadi pemilih dalam pemilu:
1) Pemilih adalah seluruh warga negara indonesia. Warga negara tersebut termasuk yang berada di luar negeri.
2) Pemilih telah berusia minimal 17 tahun ke atas atau sudah pernah menikah. Pemilih yang belum berusia 17 tahun tetap tetapi bila susdah atau pernah menikah dapat memiliki hak pilih.
3) Sehat jasmani dan rohani, orang yang mengalami gangguan jiwa tidak mempunyai hak pilih.
4) Tidak sedang dicabut haknya karena kasus pidana dan berdasarkan putusan pengadilan.
Semua orang yang terdaftar kemudian diumumkan oleh panitia pemungutan suara (PPS). Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui siapa saja yang memiliki dan tidak memiliki hak pilih. Apabila ada yang belum terdaftar mereka dapat segera mendaftarkan diri. Para pemilih yang telah terdaftar akan mendapatkan kartu pemilih.[25]
b. Pendaftaran Peserta Pemilu
Pendaftaran juga dilakukan terhadap para peserta pemilu. Peserta pemilu adalah pihak yang akan dipilih oleh rakyat. Peserta pemilu terdiri dari atas partai politik dan perseorangan. Partai yang dapat menjadi peserta harus memenuhi persyaratan tertentu, berikut persyaratan pemilu :
1) Keberadaannya diakui pemerintah sesuai UU No. 31 tahun 2002 tentang partai politik.
2) Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya dua pertiga dari seluruh jumlah provinsi
3) Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya dua pertiga dari seluruh jumlah kabupaten di tiap provinsi
4) Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk di setiap kepengurusan partai.
5) Pengurus partai politik harus memiliki kantor tetap.
6) Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik ke KPU.
c. Penetapan Peserta Pemilu
Penetapan nomor urut pada politik peserta pemilu dilakukan melalui undian oleh KPU dan dihadiri oleh seluruh partai politik peserta pemilu.[26]
d. Kampanye
Sebelum dilakukan pemungutan suara, partai politik peserta pemilu diberikan kesempatan untuk berkampanye. Pada kampanye pemilu rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri kampanye. Pelaksanaan kampanye pemilu dilaksanakan sejak 3 hari setelah calon peserta ditetapkan sebagai peserta pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang, masa tenang yang dimaksud berlangsung 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Materi kampanye pemilu berisi program peserta pemilu, dalam menyampaikan materi kampanye hendaknya dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan mendidik.
e. Pemungutan dan Penghitungan Suara
Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara ditetapkan oleh KPU. Pemungutan suara dilakukan dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi nomor, foto, dan nama pasangan calon. Penghitungan suara dilakukan setelah pemungutan suara berakhir.[27]
C. Aksiologi Pemilihan Umum
Aksiologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “axios” yang artinya nilai, dan “logos” yang artinya akal atau teori.[28] Sehingga, aksiologi dapat diartikan sebagai teori nilai atau kata lainnya, yaitu kegunaan ilmu bagi manusia itu sendiri. yang berarti layak atau pantas, dan logos yang memiliki arti ilmu. Secara sederhana, aksiologi mempelajari tentang manfaat atau nilai-nilai yang kita peroleh dari sebuah ilmu pengetahuan.[29] Aksiologi adalah teori nilai yang berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang didapatkan. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan etika, estetika, dan agama, serta merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value.[30]
Pemilihan umum tidak lahir tanpa tujuan tetapi untuk memilih para wakil rakyat dalam rangka mewujudkan pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat. Menurut liphart bahwa demokrasi, lembaga perwakilan dan pemilihan umum merupakan tiga konsep yang sangat terkait dan tak bisa dielakkan.[31] Untuk itu partisipasi masyarakat jelas di perlukan agar dapat mengimplementasikan makna demokrasi secara mutlak.
Pemilihan umum penting untuk diselenggarakan secara berkala disebabkan oleh beberapa sebab. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu.[32] Kedua, disamping pendapat rakyat yang berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah karena dinamika dunia Intenasional atau faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun faktor eksternal.[33] Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa, terutama para pemilih baru belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan para orang tua mereka sendiri. Keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepimpinan negara, baik dari cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
Penyelenggaraan pemilihan umum juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan.[34]
BAB III
PENUTUP
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi Pemilu adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat dan pemimpinnya. Pemilu sangat penting karena dalam pemilu terjadi pelaksanaan kedaulatan rakyat dan bagi negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu parameter untuk mengukur demokratis tidaknya suatu negara termasuk bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.
Pemilihan Umum yang berlaku di dalam suatu sistem hukum dapat dikaji dari filsafat hukum karena sekurang-kurangnya terdapat tiga soal pokok filsafat hukum yang berkenaan dengan Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu ontologi yuridis Pemilu (apakah yang dimaksud dengan Pemilu ?), persoalan epistimologi yuridis Pemilu (bagaimanakah seharusnya Pemilu itu dipahami? ), serta masalah aksiologi yuridis Pemilu (tujuan atau manfaat Pemilu itu ?. Jawaban atas ketiga persoalan pokok dalam filsafat Pemilu ini tidak dapat ditemukan di luar sistem hukum, di luar jiwa bangsa (Volkgeist) khususnya sistem hukum yang mengatur tentang Pemilu.
Pemilu menjadi variabel penting dalam negara demokrasi karena, pertama, untuk membentuk legitimasi penguasa dan pemerintah, kedua, membentuk perwakilan politik rakyat, ketiga, sirkulasi elite penguasa, keempat, sebagai sarana pendidikan politik warga negara.
B. SARAN
Filsafat mengajak kita untuk berfikir mendalam, semoga makalah ini bisa menambah wawasan pembaca tentang pemilihan umum (pemilu) dan dapat memahami bagaimana penyelenggaraan pemilu di Indonesia serta manfaat dilaksanakannya pemilu. Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, namun demikian, penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Atas kekurangan, penulis harapkan saran dan masukannya. Manfaat selalu ada dalam setiap pilihan yang tepat. Norma tertinggi demokrasi bukan “jangkauan kebebasan” atau “jangkauan kesamaan”, tetapi ukuran tertinggi partisipasi. (A. d. Benoist).
DAFTAR PUSTAKA
Aprita, Serlika dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, Rajawali Press, Depok, 2020.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016.
______________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta, 2008.
BIP, Tim Redaksi, Undang-Undang Pemilu 2019 Berdasarkan Undang- Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2018
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 2007.
______________, edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2004.
Jurdi, Fajlurrahman, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, Kencana, Jakarta, 2018.
Madiong, Baso dan Lidya Resty Amalia, Filsafat Ilmu Hukum, Rajawali Press, Depok, 2022.
Muntazir, Rizal dan Minsal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013.
Prasetyo, Teguh, Filsafat Pemilu, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2018.
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, Edisi Revisi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2015.
Rato, Dominikus, Pengantar Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan dan Memahami), Penerbit Laksbang, Yogyakarta, 2024.
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di Indonesia, UGM, Yogyakarta, 2010.
Sunarso dan Anis Kusumawardani, Pendidikan kewarganegaraan untuk SD dan MI kelas VI. Jakarta, CV. Grahadi, 2008.
Masan, M dan Rachmat., Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas 6, PT. Grasindo, Jakarta, 2011.
Widyastudi, Herning Budhi dan Ferry T. Indratno. Ayo Belajar Pendidikan Kewarganegaraan, Kanisius, Yogyakarta, 2008.
[1] Berpikir secara kefilsafatan hukum dicirikan secara radikal atau radix/rodex yang berarti “akar”. Berpikir secara radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya, berpikir sampai ke hakikat (ontologi), sumber pengetahuan (epistimologi), sampai ke esensi atau sampai ke substansi yang dipikirkan yaitu nilai-nilai dan tujuan-tujuan mendasar dari segala sesuatu (aksiologis). Mengenai hal ini, lihat: Teguh Prasetyo, Filsafat Pemilu, Cetakan I, Nusa Media bekerjasama dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia, Bandung, 2018. Cf., Teguh Prasetyo dan Muhammad, Filsafat Pemilu Untuk Pemilu Bermartabat, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2020. Cf., untuk Filsafat Hukum yang umum, lihat Teguh Prasetyo & A. H. Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Cetakan ke-1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, h., 2-3.
[2] Dominikus Rato, Pengantar Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan dan Memahami), Laksbang, Yogyakarta, 2024, Hal 19.
[3] Baso Madiong dan Lidya Resty Amalia, Filsafat Ilmu Hukum, Rajawali Press, Depok, 2022, Hal. 49.
[4] Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, Rajawali Press, Depok, 2020, Hal. 173.
[5] Ibid.
[6] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2004, Hal. 79.
[7] Tim Redaksi BIP, Undang-Undang Pemilu 2019 Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2018, Hal. 3.
[8] M. Masan dan Rachmat, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas 6, PT. Grasindo, Jakarta. 2011, Hal. 32.
[9] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, Hal.369.
[10] Rizal Muntazir dan Minsal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, Hal. 16.
[11] Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, Edisi Revisi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2015. Hal. 5-7.
[12] Vide Pasal 1 (1) UU. No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
[13] Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, Kencana, Jakarta, 2018, Hal. 27.
[14] Herning Budhi Widyastudi dan Ferry T. Indratno, Ayo Belajar Pendidikan Kewarganegaraan, Kanisius, Yogyakarta, 2008, Hal. 109.
[15] Fajlurrahman Jurdi, Op.cit, Hal 27.
[16] Ibid, Hal. 29.
[17] Ibid, Hal. 30.
[18] Ibid.
[19] Ibid, Hal. 30-32.
[20] Teguh Prasetyo, Filsafat Pemilu, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2018, Hal. 46.
[21] Vide putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
[22] Fajlurrahman Jurdi, Loc.cit.
[23] Vide Pasal 1 (7) UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
[24] Vide Pasal 1 (8-10) UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
[25] Setiati widihastuti dan Fajar Rahayuningsih, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SD/MI Kelas VI, PT Pustaka Insan Mandiri, Jakarta, 2008, Hal. 36-37.
[26] Sunarso dan Anis Kusumawardani, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD dan MI kelas VI, CV. Grahadi, Jakarta, 2008, Hal. 22-23.
[27] Ibid Hal. 23-24
[28] The Liang Gie, Op.cit. Hal. 26.
[29] Baso Madiong dan Lidya Resty Amalia, op.cit, Hal. 18.
[30] Litle John, Teori Komunikasi, Edisi 9. Salemba Humanika, Jakarta, 2009.
[31] Robrerrt dalam Santoso, Topo dan Ida Budhiati. Pemilu Di Indonesia Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, Hal. 3.
[32] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016,
hlm. 415.
[33] Ibid. hlm. 415.
[34] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta, 2008, Hal. 753.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini