Doktrin adalah suatu ajaran dari seseorang ahli hukum. Seorang ahli yakni seorang yang oleh dunia internasional sudah diakui keahliannya dalam lapangan hukum. Biasanya ahli yang demikian itu menjadi terkenal karena buah pikirannya yang bermutu tinggi. Menurut R. Soeroso, bahwa doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil keputusannya.22
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo pernah juga berpendapat,
bahwa doktrin itu adalah pendapat para hukum yang merupakan sumber hukum,
tempat hakim dapat menemukan hukumnya.23 Kemudian oleh Chainur
Arrasyid menjelaskan bahwa doktrin itu adalah hukum yang diciptakan oleh
orang-orang cerdik pandai. Atau pendapatpendapat dari ahli hukum tentang
sesuatu hal mengenai hukum.24
Sering kali terjadi bahwa hakim dalam memutuskan perkara yang
diperiksanya menyebut-nyebut pendapat sarjana hukum tertentu sebagai dasar
pertimbangannya. Dengan kata lain, bahwa hakim sering kali mempergunakan
doktrin (pendapat sarjana hukum) sebagai landasan untuk mencari kebenaran-kebenaran
materiil dari suatu perkara yang dihadapinya. Jadi dapat dikatakan bahwa hakim
menemukan hukumnya dalam doktrin itu. Doktrin yang demikian itu adalah sumber
hukum, yakni sumber hukum formal.
Beli Buku Pengantar Ilmu Hukum karangan R Soeroso SH |
Dengan demikian, suatu doktrin untuk dapat menjadi hukum formal harus memenuhi syarat tertentu, yaitu jika doktrin itu telah menjelma menjadi keputusan hakim. Adapun contoh doktrin dapat dilihat sebagai berikut:
1. Doktrin mazhab sejarah dan kebudayaan yang dipelopori oleh
Friedrich Karl Von Savigny
(1779-1861), seorang Jerman berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari
kesadaran hukum masyarakat (volkgeist).
Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari
pembentuk undang-undang.
2. Doktrin aliran utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), berpendapat
bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan. Setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai
dengan kejahatan tersebut dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih
daripada apa yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pembentuk
hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara
individual.
3. Doktrin aliran socialogical jurisprudence yang dipelopori
oleh Eugen Ehrlich (1826-1922),
seorang Austria berpendapat bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pusat perkembangan dari hukum
bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan
yudikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat
itu sendiri.
4. Doktrin aliran realisme hukum yang diprakarsai oleh Karl Llewellyn (1893-1962), Jerome Frank (1889-1957), Justice Oliver Wendell Holmes
(1841-1935) ketiga-tiganya orang Amerika berpendapat bahwa hakim-hakim tidak
hanya menemukan hukum, akan tetapi bahkan membentuk hukum.25
Di Indonesia dalam hukum Islam banyak juga dijumpai ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada pengadilan agama dalam putusan-putusannya. Dalam hukum internasional doktrin diakui sebagai sumber hukum. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) mengatakan bahwa dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:
1. Perjanjian-perjanjian internasional (International conventions);
2. Kebisaan-kebiasaan Internasional (International customs);
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab (The general principles of
law recognized by civilized nations);
4. Keputusan pengadilan (Judicial
decisions); dan
5. Ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah-kaidah hukum (The teachings of the most highly qualified
publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of
rules of law).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapatlah dijelaskan bahwa
doktrin itu akan dapat dipergunakan sebagai bahan baku untuk menciptakan
pembaruan hukum dan selanjutnya menjadi sumber hukum.
22R. Soeroso, Op. Cit, hlm. 179.
23Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 108.
25Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 33-38.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini