Hukum pidana menurut Wirjono Prodjodikoro adalah peraturan hukum mengenai pidana.[1] Pengertian ini diperjelas oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad yang mengatakan bahwa hukum pidana substantif/materiel adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukum pidana.[2] substantif/materiel adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan hukum pidana.2 Kata hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara tersebut berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan pidana seperti apa yang dapat diperkenankan. Hukum pidana dalam artian ini adalah hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif yang juga sering disebut jus poenale. Hukum pidana tersebut mencakup:[3]
- Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya organ-organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan ancaman pidana, norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun juga.
- Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu.
- Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma.
Kemudian Moeljatno menjelaskan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[4]
Istilah “pidana” yang digunakan dalam KUHP karangan Moeljatno sebenarnya bersinonim dengan kata “hukuman” yang digunakan dalam KUHP karangan R. Soesilo. Hukuman adalah penamaan bagi semua akibat hukum karena telah melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma hukum disiplin, maka ganjarannya adalah hukuman disiplin. Apabila yang dilanggar adalah hukum perdata, maka diberi ganjaran atau hukumannya adalah sanksi perdata, dan untuk pelanggaran hukum administrasi diberi hukuman administrasi atau sanksi administrasi. Sedangkan terhadap pelanggaran hukum pidana akan diberi hukuman pidana atau sanksi pidana.
Mengenai kata majemuk yang terakhir disebutkan, yakni ‘hukuman pidana’, menurut S. R. Sianturi (1986: 12), memang sering dipermasalahkan, sebab kedua kata yang telah dimajemukkan tersebut mempunyai arti yang sama. Kata ‘pidana’ merupakan juga istilah lain kata derita, nestapa, pendidikan, penyeimbangan, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya permasalahan ini cenderung diselesaikan dengan menyepakati untuk mempersingkat istilah ‘hukuman pidana’ dengan satu kata saja yaitu ‘pidana’. Istilah pidana dipandang lebih praktis, hemat, dan sekaligus dapat memperjelas makna jika misalnya disambung dengan kata penjara, tambahan, kurungan, denda, dan sebagainya.
Sedangkan Ruslan Saleh menyatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Selanjutnya, H. L. A. Hart menyatakan bahwa pidana haruslah:
1. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;
2. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau benar melakukan tindak pidana;
3. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;
4. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;
5. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disusun oleh R. Soesilo (1996: 35), dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukuman ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim sebagai vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Menurut Van Hamel (Lamintang, 1984: 34), arti pidana atau straf adalah: “suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara”. Selanjutnya Algra-Janssen (Lamintang, 1984: 35) telah merumuskan pidana atau straf sebagai:
alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.
Selanjutnya menurut Bambang Poernomo, hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.[5]
W.L.G. Lemaire, hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.[6]
Menurut Sudarto bahwa hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu akibat yang berupa pidana.[7] Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.[8] Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:[9]
1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana W.F.C. van Hattum, hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.[10]
Pompe hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu. Adami Chazawi, hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:[11]
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Hazewinkel-Suringa, hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.[12]
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang:
1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana
[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), hlm. 1.
[2] Mustafa Abdullah & Ruben Ahmad, 1993, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.9
[3] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm.1.
[4] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 1.
[5] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 19.
[6] P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,Bandung, hlm.1-2
[7] Sudarto, 1990, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.9
[8] P.A.F Lamintang, Op.Cit, hlm.3
[9] Sudarto, Loc.Cit.
[10] P.A.F Lamintang, Loc,Cit.
[11] Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 2
[12] Andi Hamzah, 1991, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,Jakarta, hlm. 4.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini