Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional baik di bidang kepidanaan maupun dibidang keperdataan yang mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup bangsanya. Bagi negara Indonesia dalam pembinaan dan pembentukan hukumnya harus berdasarkan dengan rambu-rambu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka menggantikan hukum warisan kolonial yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional.
Pembinaan hukum nasional tidak hanya tertuju pada aturan atau substansinya hukum saja, tetapi juga pada struktur, instansi dan budaya hukum masyarakat yang mendukung pelaksanaan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, pembinaan hukum menurut H. Abdurrahman adalah usaha menyeluruh dan terpadu untuk menangani hukum di Indonesia dalam semua aspek.13 Salah satu aspek dari pembinaan hukum nasional adalah membangun adanya suatu konsepsi hukum yang akan dibangun. Hukum yang harus dibangun adalah bertujuan untuk mengakhiri suatu tatanan sosial yang tidak adil dan yang menindas hak-hak asasi.
Politik hukum Indonesia sesungguhnya harus berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.14
----------------------------------------------------------------------------
13H.Abdurrahman, Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1989), hlm. 10.
14Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), hlm. 20.
---------------------------------------------------------------------
Pada era Orde Baru golongan militer dan birokrat merupakan kelompok-kelompok sosial yang terorganisir secara rapi dan mempunyai visi dan ideologi yang relatif homogen, yakni ide persatuan nasional. Ideologi persatuan nasional ini memberikan ligitimasi penting bagi naiknya golongan militer dan birokrat ke panggung politik. Dengan demikian, golongan sosial di luar sektor negara umumnya merupakan golongan sosial yang kurang terorganisir secara rapi dan secara ideologis tercerai berai.
Golongan tersebut terdiri dari intelektual, kalangan akademis, pedagang-pedagang menengah, golongan profesi, pemimpin agama dan tokoh partai politik. Kesemuanya golongan tersebut di atas termasuk golongan menengah yang tidak mempunyai akses langsung ke pusat kekuasaan politik. Lemahnya masyarakat lapisan bawah terhadap kedudukan politik dan ekonomi, maka kedudukan pemerintah monopoli di bidang pembinaan hukum nasional. Selaras dengan kenyataan ini lembaga peradilan dan partisipasi masyarakat luas kurang mendapatkan tempat yang cukup bararti di bidang pembinaan hukum.
Dengan demikian, produk strategi pembangunan hukumnya adalah ortodoks yang menghasilkan hukum bersifat positivis instrumentalis.15 Hukum yang menjadi instrumen yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program dari negara. Dalam hal ini hukum bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, sehingga hukum itu menjadi kurang tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat.
Adapun di era Reformasi sekarang ini strategi pembangunan hukum itu diarahkan kepada hukum yang responsif bercirikan adanya peranan besar lembaga-lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau partisipasi individu di dalam masyarakat untuk menentukan arah perkembangan hukum. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijaksanaan umum. Arah dan kebijakan politik hukum nasional pada masa lalu dituangkan dalam naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai haluan negara dalam penyelenggaraan bernegara dan pembangunan nasional.
-----------------------------------------------------
15Abdul Hakim G. Nusantara, Ibid, hlm. 27.
-----------------------------------------------------
Pada masa sekarang sehubungan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka haluan negara tentang penyelenggaraan bernegara menjadi tugas dan tanggung jawab Presiden pilihan rakyat untuk merumuskannya dalam suatu rencana pembangunan. Dalam kurun waktu 2004-2009 ini telah keluar rencana pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009.
Dalam rencana pembangunan tersebut tercantum arah kebijakan dan program berbagai bi dang termasuk di bidang hukum. Pembangunan di bidang hukum sebagaimana telah dicantumkan dalam Bab 9 tentang Pembentukan Sistem dan Politik Hukum dalam naskah Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 20042009 adalah sasaran politik hukum nasional, arah kebijakan hukum nasional, dan program pembangunan hukum nasional. Adapun sasaran politik hukum nasional adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender); terjaminnya konsisten seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi; kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan.
Sedangkan arah kebijakan hukum nasional adalah untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum, dengan upaya adalah sebagai berikut:
1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memerhatikan asas umum dan hierarki perundang-undangan; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dan upaya pembaruan materi hukum nasional.
2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak kepada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional.
3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan supremasi hukum.
Selanjutnya program pembangunan hukum nasional dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perencanaan hukum, yang bertujuan untuk menciptakan persamaan persepsi dan seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantisipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun mendatang meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a. Pengumpulan dan pengolahan serta penganalisisan bahan informasi hukum terutama yang terkait dengan pelaksanaan berbagai kegiatan perencanaan pembangunan hukum secara keseluruhan.
b. Penyelenggaraan berbagai forum diskusi dan konsultasi publik yang melibatkan instansi/lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan evaluasi dan penyusunan rencana pembangunan hukum yang akan datang.
c. Penyusunan dan penyelenggaraan forum untuk menyusun prioritas rancangan undang-undang ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) bersama pemerintah dan badan Legislatif (DPR).
d. Penyelenggaraan berbagai forum kerja sama internasional di bidang hukum yang terkait terutama dengan isu-isu korupsi, terorisme, perdagangan perempuan dan anak, obat-obat terlarang, perlindungan anak, dan lain-lain.
2. Pembentukan hukum, yang berfungsi untuk menciptakan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang akan menjadi landasan hukum untuk berperilaku tertib dalam rangka menyelenggarakan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui proses yang benar dengan memerhatikan tertib perundang-undangan serta asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Kemudian pembentukan yurisprudensi dilakukan oleh lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara-perkara tertentu terutama yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Adapun kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
a. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi manusia dan peradilan.
b. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang ada dalam masyarakat.
c. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai implikasi meng hambat pencapaian kesejahteraan rakyat.
d. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan masyarakat.
e. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
f. Penyempurnaan dan perubahan serta pembaruan berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan.
g. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan
h. Pemberdayaan berbagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menjadi sumber hukum bagi para hakim termasuk para praktisi hukum dalam menangani perkara sejenis yang diharapkan akan menjadi bahan penyempurnaan, perubahan dan pembaruan hukum (peraturan perundang-undangan).
3. Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya, yakni bertujuan untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu yang melibatkan di antaranya Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Lembaga Pemasyarakatan dan praktisi hukum sebagai upaya mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan.
Adapun kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan kegiatan operasional penegakan hukum dengan perhatian khusus kepada pemberantasan korupsi, terorisme, dan penyalah gunaan narkoba.
b. Peningkatan forum diskusi dan pertemuan antarlembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lebih transparan dan terbuka bagi masyarakat.
c. Pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik.
d. Pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel, antara lain pembentukan Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Kepolisian Nasional.
e. Penyederhanaan sistem penegakan hukum.
f. Pembaruan konsep penegakan hukum, antara lain penyusunan konsep sistem peradilan pidana terpadu dan penyusunan konsep pemberian bantuan hukum serta meninjau kembali peraturan perundangundangan tentang izin pemeriksaan terhadap penyelenggara negara dan cegah tangkal tersangka kasus korupsi.
g. Penguatan kelembagaan, antara lain Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).
h. Percepatan penyelesaian berbagai perkara tunggakan pada tingkat kasasi melalui proses yang transparan.
i. Pengembangan sistem manajemen anggaran peradilan dan lembaga penegak hukum lain yang transparan dan akuntabel.
j. Penyelamatan bahan bukti akuntabilitas kinerja yang berupa dokumen/arsip lembaga negara dan badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hukum.16
4. Peningkatan kualitas profesi hukum, yaitu bertujuan untuk meningkatkan profesional aparat penegak hukum yang meliputi hakim, polisi, jaksa, petugas pemasyarakatan, petugas keimigrasian, perancang peraturan perundang-undangan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) para praktisi hukum.
Adapun kegiatan pokok yang akan dilakukan meliputi:
a. Pengembangan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan profesional.
b. Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
c. Pengawasan terhadap berbagai profesi hukum dengan penerapan secara konsisten kode etiknya.
d. Penyelenggaraan berbagai seminar dan lokakarya di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan aparatur hukum agar lebih tanggap terhadap perkembangan yang terjadi baik pada saat ini maupun pada saat mendatang.
e. Peningkatan kerja sama yang intensif dengan negara-negara lain untuk mengantisipasi dan mencegah meluasnya kejahatan transnasional dengan cara-cara yang sangat canggih sehingga cukup sulit terdeteksi apabila hanya dengan langkah-langkah konvensional.17
5. Peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan serta meningkatkan kadar kesadaran hukum dari hak asasi manusia masyarakat termasuk para penyelenggara negara agar mereka tidak hanya mengetahui dan menyadari hak dan
16Dwi Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 117.
17Dwi Winarno, Ibid, hlm. 118.
kewajibannya, tetapi juga mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum serta menghormati hak asasi manusia. Adapun kegiatan pokok yang akan dilakukan program ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pemantapan metode pengembangan dan peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia yang disusun berdasarkan pendekatan dua arah, agar masyarakat tidak hanya dianggap sebagai objek pembangunan tetapi juga sebagai subjek pembangunan serta benarbenar memahami dan menerapkan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Peningkatan penggunaan media komunikasi yang lebih modern dalam rangka pencapaian sasaran penyadaran hukum pada berbagai lapisan masyarakat.
c. Pengkayaan metode pengembangan dan peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia secara terus-menerus untuk mengimbangi pluralitas sosial yang ada dalam masyarakat maupun sebagai implikasi dari globalisasi; serta
d. Peningkatan kemampuan dan profesionalisme tenaga penyuluh yang tidak saja dari kemampuan substansi, namun hubungan juga pengetahuan sosiologi terhadap perilaku masyarakat setempat, sehingga komunikasi dalam menyampaikan materi dapat lebih tepat, dipahami dan diterima dengan baik oleh masyarakat.18 Dalam pembaruan hukum seyogyanya dilakukan dengan memerhatikan hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Hukum dalam masyarakat menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick terdapat 3 (tiga) keadaan hukum, yaitu:
1. Hukum Represif, yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan represif;
2. Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menjinakkan represi melindungi integritasnya sendiri, dan
3. Hukum Responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana responss atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat.19
18Dwi Winarno, Ibid, hlm. 119.
19Philippe Nonet dan Philip Selznik dalam Mulyana W. Kusumah, Prespektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1996), hlm. 12.
Hukum represif khususnya bertujuan untuk mempertahankan status quo penguasa, karapkali dikemukakan dengan dalih untuk menjamin ketertiban. Aturan-aturan hukum represif keras dan terperinci akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuat peraturan sendiri, hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak dan ketidakpatuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan, sedangkan kritik terhadap penguasa dianggap sebagai suatu ketidaksetiaan.
Hukum otonom yang bertujuan untuk membatasi kesewenangwenangan, baik dalam mempertahankan maupun mengubah status quo. Hukum otonom tidak mempermasalahkan dominasi kekuasaan dalam orde yang ada maupun orde yang hendak dicapai. Hukum otonom merupakan model hukum “the rule of law” dalam bentuk liberal klasik.
Legitimasi hukum dalam hukum otonom terletak pada kebenaran prosedural, hukum bebas dari pengaruh politik sehingga terdapat pemisahan kekuasaan, kesempatan untuk berpartisipasi dibatasi oleh tata cara yang sudah mapan. Dalam konsep hukum responsif melahirkan keadilan substansial, karena hukum dimaknai sebagai sarana rekayasa sosial yang dilakukan secara terencana menuju pola pikir dan pola perilaku yang lebih baik.
Hukum responsif pada dasarnya bertujuan agar hukum lebih tanggap terhadap kebutuhan warga masyarakat, serta lebih efektif menangani konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Tipe hukum responsif ini faktor yang paling menonjol adalah:
(a) adanya pergeseran penekanan dari aturan-aturan kepada prinsip-prinsip dan tujuan hukum,
(b) mementingkan keberadaan rakyat, baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Hukum responsif itu mencoba mengatasi kepicikan dalam moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara sosial terintegrasi.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini