Ghibah publik seputar omnibus law atau undang-undang cipta kerja masih hangat baik di jagad maya dan dunia nyata. Namun, ada satu isu
krusial yang nampaknya belum terjamah oleh warganet dan para pecinta ghibah
ini, yakni ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja sebagai berikut:
(1) Dalam
rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat
berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan
dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
(2) Perubahan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(3) Dalam
rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat
Republik Indonesia.
Perhatikan bunyi ketentuan Pasal
170 di atas. Sejak kapan Peraturan Pemerintah (PP) memiliki kewenangan untuk
mengubah ketentuan Undang-Undang (UU)? Bukankan ini bertentangan dengan asas
hierarki norma sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan? Seandainya Hans Kelsen masih hidup,
mungkin dia akan membaptis Indonesia sebagai negara pertama yang melakukan
praktik bid’ah yuridis di seantero jagat.
Dosen dan mahasiswa fakultas
hukum tentu memahami Teori Hierarki Norma (Stufenbau Theory) yang dikemukakan
Hans Kelsen. Dalam studi ilmu hukum, Stufenbau Theory selalu diajarkan kepada
mahasiswa baik di tingkat Sarjana, Magister maupun Doktor, karena teori
tersebut dipandang sebagai teori yang sangat mendasar untuk memahami hukum
sebagai sebuah sistem norma yang, secara ontologis, berbeda dari norma sosial
lainnya—misalnya norma etika.
Dalam karyanya Pure Theory of
Law, Kelsen berpendapat bahwa hukum adalah sistem norma (system of norms) atau
tatanan normatif (normative order). Norma merupakan “proposisi seharusnya”
(ought propositions) yang menggambarkan perilaku tertentu. Sistem hukum dalam
pengertian ini adalah structure of legal ‘oughts’, bukan fakta sosial (social
fact) sebagaimana dijelaskan oleh Emile Durkheim. Berbeda dengan norma moral
(moral norms), yang menurut Kelsen biasanya disimpulkan dari norma moral lain
berdasarkan silogisme (misalnya, dari prinsip umum sampai prinsip yang lebih
khusus), norma hukum selalu diciptakan oleh tindakan kehendak (acts of will).
Tindakan semacam itu dapat
menciptakan hukum hanya jika sesuai dengan norma hukum lain “yang lebih tinggi”
yang memberi wewenang untuk menciptakannya dengan cara itu. Norma hukum yang
lebih tinggi (higher legal norm) pada gilirannya hanya berlaku (valid) jika
dibuat sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi yang mengesahkan
pemberlakuannya. Pada akhirnya, Kelsen berpendapat bahwa seseorang harus
mencapai titik di mana produk yang memberi kewenangan (authorizing product)
bukan lagi produk dari tindakan kehendak, tetapi hanya diandaikan
(presupposed). Inilah yang disebut Kelsen dengan istilah “norma dasar” (basic
norm). Lebih konkretnya, Kelsen berpendapat bahwa dengan menelusuri kembali
“rantai validitas” (chain of validity)—meminjam istilah Joseph Raz—seseorang
akan menemukan konstitusi historis “pertama” sebagai norma otoritatif dasar
dari keseluruhan sistem hukum (legal system). Norma dasar merupakan prasyarat
keabsahan konstitusi pertama itu.
Menurut Kelsen, validitas suatu
norma tidak ditentukan oleh kemanjuran (efficacious) atau kesesuaiannya dengan
realitas (conformity to reality), melainkan ditentukan oleh norma umum (general
norm)—norma sebagai “perintah” (command) yang “harus dilakukan” (ought to) dan
memiliki “kekuatan memaksa” (binding force)—dan kesesuaiannya dengan norma
tertinggi (higest norm). Kelsen memahami sistem norma sebagai suatu kesatuan
yang tersusun secara berjenjang dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Struktur sistem norma itu digambarkan oleh Kelsen sebagai “hirarki norma”
(Stufenbau), yaitu struktur norma pada tingkat yang berbeda, di mana norma pada
tingkat yang lebih tinggi mengabsahkan (authorized) atau mendelegasikan (delegated)
pembentukan norma pada tingkat yang lebih rendah. Kelsen menyebut norma
tertinggi itu sebagai “norma dasar” (Grundnorm; basic norm), yakni “aturan
tertinggi” (ultimate rule) yang melaluinya norma-norma lain dibentuk,
dibatalkan, mendapatkan dan kehilangan validitasnya.
Setelah menelusuri validitas
norma hukum melalui mata rantai validitas, Kelsen berkesimpulan bahwa mata
rantai tertinggi adalah konstitusi historis pertama (historically first
constitution). Kelsen menyebut konstitusi historis pertama itu sebagai norma
dasar dan menjelaskan bahwa ia merupakan “dalil akhir, di mana validitas semua
norma-norma sistem hukum kita bergantung.” Menurut Kelsen, konstitusi sebagai
norma dasar itu tidak diciptakan melalui prosedur hukum (legal procedure) oleh
organ pembuat hukum (law-creating organ). Validitas norma dasar tidak
ditentukan oleh karena ia dibentuk dalam cara tertentu melalui tindakan hukum
(legal act), melainkan karena ia diandaikan (presupposed) valid dengan
sendirinya; ia diandaikan valid karena tanpa pengandaian (presupposition) ini
tidak ada tindakan manusia yang dapat diinterpretasikan sebagai legal, terutama
tindakan pembentukan norma (norm creating act). Dengan demikian, norma dasar
adalah alat untuk membedakan antara hukum (law) dan paksaan (coercion), antara
yang diwajibkan (obligated) dan yang dipaksakan (obliged), yang berarti bahwa
ia merupakan landasan normativitas hukum.
Wejangan Hans Kelsen sebelumnya
menunjukkan bahwa sistem norma merupakan suatu kesatuan yang tersusun secara
berjenjang dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kelsen menggambarkan
struktur sistem norma itu sebagai “hierarki norma” (Stufenbau), di mana norma
pada tingkat yang lebih tinggi mengabsahkan (authorized) atau mendelegasikan
(delegated) pembentukan norma pada tingkat yang lebih rendah. Sebaliknya, norma
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.
Teori Kelsen ini dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky yang kemudian
dikenal sebagai “theorie von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori ini
memberikan penjelasan tentang jenjang norma sebagai berikut: (1) Norma
fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); (2) Aturan dasar negara
(staatsgrundgesetz); (3) Undang-undang formal (formell gesetz); (4) Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Hamid Attamimi mengaplikasikan
teori Nawiasky itu ke dalam struktur hierarki peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia dengan tata urutan sebagai berikut: (1)
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945); (2) Staatsgrundgesetz:
Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; (3) Formell
gesetz: Undang-Undang; (4) Verordnung en Autonome Satzung: secara hierarkis
mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Dalam struktur hierarki norma
yang diajukan oleh Attamimi di atas, Tap MPR diposisikan dalam kedudukan yang
setara dengan UUD 1945, yakni sebagai aturan dasar negara (staatsgrundgesetz).
Akan tetapi, kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan pada saat
kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi negara atau sebelum amandemen UUD
1945. Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, Tap MPR
tidak lagi memiliki kedudukan yang setara dengan UUD 1945, melainkan berada di
bawah UUD 1945. Saat ini, jenis dan hierarki norma hukum di Indonesia diatur
dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
khususnya dalam Pasal 7 sebagai berikut:
Mau meningkatkan kapasitas dan
skil serta pengetahuan dengan cara mudah dan terjangkau? Mulai dari IDR 50
ribu/bulan, anda dapat mengikuti beragam pelatihan virtual dan kelas
pengetahuan mandiri tanpa batas.
(1) Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU
No. 12 Tahun 2011 di atas, Tap MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang setara
dengan UUD 1945, melainkan berada di bawah UUD 1945, namun memiliki kedudukan
yang lebih tinggi daripada Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres)
dan Peraturan Daerah (Perda). Dengan demikian, dalam struktur hierarki norma
yang berlaku saat ini, jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki
kedudukan tertinggi adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945).
Kembali kepada persoalan Pasal 70
RUU Cipta Kerja. Pemberian kewenangan kepada Peraturan Pemerintah (PP) untuk
mengubah ketentuan Undang-Undang (UU) jelas bertentangan dengan asas hierarki
norma yang berlaku dalam sistem hukum nasional. Pemberian kewenangan kepada PP
untuk mengubah UU ini jelas melampui kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh
peraturan perundang-undangan setingkat PP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 5 jo. Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi
materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian,
kewenangan PP sebagai peraturan pelaksanaan atau Verordnung en Autonome Satzung
hanya sebatas menjalankan ketentuan UU, bukan sebaliknya malah mengubah
ketentuan UU.
Ketentuan Pasal 70 RUU Cipta
Kerja ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi yuridis yang sangat berbahaya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, pemberian kewenangan kepada
PP untuk mengubah UU sama saja dengan memberikan kewenangan yang kelewat besar
kepada eksekusif untuk menyusun kebijakan hukum sesuai dengan selera dan
preferensi subjektif pemerintah. Ini sama saja hendak mengubah negara
berdasarkan hukum (rechtstaat) menjadi negara berdasarkan kekuasaan
(machtstaat). Kedua, pemberian kewenangan kepada PP untuk mengubah UU sama saja
dengan mendegradasi kewenangan DPR sebagai legislator yang mewakili aspirasi
dan kepentingan rakyat. Ketiga, pemberian kewenangan kepada PP untuk mengubah
UU dapat menimbulkan konflik norma (norm conflict) dan kekacauan hukum (legal disorder)
dalam sistem hukum nasional.
Sejak semula, penyusunan RUU
Cipta Kerja memang sudah bermasalah lantaran tidak melibatkan partisipasi
publik dalam proses perumusannya. Sejak penyusunan Naskah Akademik hingga
menjadi RUU yang kemudian diserahkan ke DPR, proses perumusan RUU Cipta Kerja
sepenuhnya diserahkan secara eksklusif kepada Satgas Pemerintah dan KADIN
berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesai Nomor 378 Tahun 2019 Tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan KADIN
Untuk Konsultasi Publik Omnibus Law. Meskipun Pasal 4 Kepmenko Perekonomian itu
menyatakan bahwa Satgas dalam pelaksanaan tugasnya dapat melibatkan
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah daerah, pemangku
kepentingan, akademisi serta pihak lain yang dipandang perlu, namun dalam
kenyataannya banyak pemangku kepentingan yang tidak dilibatkan dalam proses
perumusan RUU Cipta Kerja. Hal ini terindikasi dari adanya sejumlah demonstrasi
buruh di pelbagai tempat yang meneriakkan penolakan terhadap RUU tersebut.
Dengan demikian, aspirasi dan
kepentingan kaum buruh sama sekali absen dan tidak diakomodir dalam proses
perumusan RUU Cipta Kerja.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini