Solus POPULI Suprema LEX

Kesejahteraan Rakyat adalah Aturan Tertinggi
Home » » UU Cipta Kerja, Kalau Masih Hidup Hans Kelsen Mungkin Akan Menagis .?

UU Cipta Kerja, Kalau Masih Hidup Hans Kelsen Mungkin Akan Menagis .?

Written By Bang UFIK on Jumat, 12 Agustus 2022 | 08.37

Ghibah publik seputar omnibus law atau undang-undang cipta kerja masih hangat baik di jagad maya dan dunia nyata. Namun, ada satu isu krusial yang nampaknya belum terjamah oleh warganet dan para pecinta ghibah ini, yakni ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja sebagai berikut:

(1)    Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

(2)    Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3)    Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.

Perhatikan bunyi ketentuan Pasal 170 di atas. Sejak kapan Peraturan Pemerintah (PP) memiliki kewenangan untuk mengubah ketentuan Undang-Undang (UU)? Bukankan ini bertentangan dengan asas hierarki norma sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan? Seandainya Hans Kelsen masih hidup, mungkin dia akan membaptis Indonesia sebagai negara pertama yang melakukan praktik bid’ah yuridis di seantero jagat.

Dosen dan mahasiswa fakultas hukum tentu memahami Teori Hierarki Norma (Stufenbau Theory) yang dikemukakan Hans Kelsen. Dalam studi ilmu hukum, Stufenbau Theory selalu diajarkan kepada mahasiswa baik di tingkat Sarjana, Magister maupun Doktor, karena teori tersebut dipandang sebagai teori yang sangat mendasar untuk memahami hukum sebagai sebuah sistem norma yang, secara ontologis, berbeda dari norma sosial lainnya—misalnya norma etika.

Dalam karyanya Pure Theory of Law, Kelsen berpendapat bahwa hukum adalah sistem norma (system of norms) atau tatanan normatif (normative order). Norma merupakan “proposisi seharusnya” (ought propositions) yang menggambarkan perilaku tertentu. Sistem hukum dalam pengertian ini adalah structure of legal ‘oughts’, bukan fakta sosial (social fact) sebagaimana dijelaskan oleh Emile Durkheim. Berbeda dengan norma moral (moral norms), yang menurut Kelsen biasanya disimpulkan dari norma moral lain berdasarkan silogisme (misalnya, dari prinsip umum sampai prinsip yang lebih khusus), norma hukum selalu diciptakan oleh tindakan kehendak (acts of will).

Tindakan semacam itu dapat menciptakan hukum hanya jika sesuai dengan norma hukum lain “yang lebih tinggi” yang memberi wewenang untuk menciptakannya dengan cara itu. Norma hukum yang lebih tinggi (higher legal norm) pada gilirannya hanya berlaku (valid) jika dibuat sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi yang mengesahkan pemberlakuannya. Pada akhirnya, Kelsen berpendapat bahwa seseorang harus mencapai titik di mana produk yang memberi kewenangan (authorizing product) bukan lagi produk dari tindakan kehendak, tetapi hanya diandaikan (presupposed). Inilah yang disebut Kelsen dengan istilah “norma dasar” (basic norm). Lebih konkretnya, Kelsen berpendapat bahwa dengan menelusuri kembali “rantai validitas” (chain of validity)—meminjam istilah Joseph Raz—seseorang akan menemukan konstitusi historis “pertama” sebagai norma otoritatif dasar dari keseluruhan sistem hukum (legal system). Norma dasar merupakan prasyarat keabsahan konstitusi pertama itu.

Menurut Kelsen, validitas suatu norma tidak ditentukan oleh kemanjuran (efficacious) atau kesesuaiannya dengan realitas (conformity to reality), melainkan ditentukan oleh norma umum (general norm)—norma sebagai “perintah” (command) yang “harus dilakukan” (ought to) dan memiliki “kekuatan memaksa” (binding force)—dan kesesuaiannya dengan norma tertinggi (higest norm). Kelsen memahami sistem norma sebagai suatu kesatuan yang tersusun secara berjenjang dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Struktur sistem norma itu digambarkan oleh Kelsen sebagai “hirarki norma” (Stufenbau), yaitu struktur norma pada tingkat yang berbeda, di mana norma pada tingkat yang lebih tinggi mengabsahkan (authorized) atau mendelegasikan (delegated) pembentukan norma pada tingkat yang lebih rendah. Kelsen menyebut norma tertinggi itu sebagai “norma dasar” (Grundnorm; basic norm), yakni “aturan tertinggi” (ultimate rule) yang melaluinya norma-norma lain dibentuk, dibatalkan, mendapatkan dan kehilangan validitasnya.

Setelah menelusuri validitas norma hukum melalui mata rantai validitas, Kelsen berkesimpulan bahwa mata rantai tertinggi adalah konstitusi historis pertama (historically first constitution). Kelsen menyebut konstitusi historis pertama itu sebagai norma dasar dan menjelaskan bahwa ia merupakan “dalil akhir, di mana validitas semua norma-norma sistem hukum kita bergantung.” Menurut Kelsen, konstitusi sebagai norma dasar itu tidak diciptakan melalui prosedur hukum (legal procedure) oleh organ pembuat hukum (law-creating organ). Validitas norma dasar tidak ditentukan oleh karena ia dibentuk dalam cara tertentu melalui tindakan hukum (legal act), melainkan karena ia diandaikan (presupposed) valid dengan sendirinya; ia diandaikan valid karena tanpa pengandaian (presupposition) ini tidak ada tindakan manusia yang dapat diinterpretasikan sebagai legal, terutama tindakan pembentukan norma (norm creating act). Dengan demikian, norma dasar adalah alat untuk membedakan antara hukum (law) dan paksaan (coercion), antara yang diwajibkan (obligated) dan yang dipaksakan (obliged), yang berarti bahwa ia merupakan landasan normativitas hukum.

Wejangan Hans Kelsen sebelumnya menunjukkan bahwa sistem norma merupakan suatu kesatuan yang tersusun secara berjenjang dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kelsen menggambarkan struktur sistem norma itu sebagai “hierarki norma” (Stufenbau), di mana norma pada tingkat yang lebih tinggi mengabsahkan (authorized) atau mendelegasikan (delegated) pembentukan norma pada tingkat yang lebih rendah. Sebaliknya, norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Teori Kelsen ini dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky yang kemudian dikenal sebagai “theorie von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori ini memberikan penjelasan tentang jenjang norma sebagai berikut: (1) Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); (2) Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); (3) Undang-undang formal (formell gesetz); (4) Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Hamid Attamimi mengaplikasikan teori Nawiasky itu ke dalam struktur hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan tata urutan sebagai berikut: (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945); (2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; (3) Formell gesetz: Undang-Undang; (4) Verordnung en Autonome Satzung: secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Dalam struktur hierarki norma yang diajukan oleh Attamimi di atas, Tap MPR diposisikan dalam kedudukan yang setara dengan UUD 1945, yakni sebagai aturan dasar negara (staatsgrundgesetz). Akan tetapi, kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan pada saat kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi negara atau sebelum amandemen UUD 1945. Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, Tap MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang setara dengan UUD 1945, melainkan berada di bawah UUD 1945. Saat ini, jenis dan hierarki norma hukum di Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya dalam Pasal 7 sebagai berikut:

Mau meningkatkan kapasitas dan skil serta pengetahuan dengan cara mudah dan terjangkau? Mulai dari IDR 50 ribu/bulan, anda dapat mengikuti beragam pelatihan virtual dan kelas pengetahuan mandiri tanpa batas.

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 di atas, Tap MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang setara dengan UUD 1945, melainkan berada di bawah UUD 1945, namun memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda). Dengan demikian, dalam struktur hierarki norma yang berlaku saat ini, jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan tertinggi adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Kembali kepada persoalan Pasal 70 RUU Cipta Kerja. Pemberian kewenangan kepada Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah ketentuan Undang-Undang (UU) jelas bertentangan dengan asas hierarki norma yang berlaku dalam sistem hukum nasional. Pemberian kewenangan kepada PP untuk mengubah UU ini jelas melampui kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh peraturan perundang-undangan setingkat PP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, kewenangan PP sebagai peraturan pelaksanaan atau Verordnung en Autonome Satzung hanya sebatas menjalankan ketentuan UU, bukan sebaliknya malah mengubah ketentuan UU.

Ketentuan Pasal 70 RUU Cipta Kerja ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi yuridis yang sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, pemberian kewenangan kepada PP untuk mengubah UU sama saja dengan memberikan kewenangan yang kelewat besar kepada eksekusif untuk menyusun kebijakan hukum sesuai dengan selera dan preferensi subjektif pemerintah. Ini sama saja hendak mengubah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) menjadi negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Kedua, pemberian kewenangan kepada PP untuk mengubah UU sama saja dengan mendegradasi kewenangan DPR sebagai legislator yang mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Ketiga, pemberian kewenangan kepada PP untuk mengubah UU dapat menimbulkan konflik norma (norm conflict) dan kekacauan hukum (legal disorder) dalam sistem hukum nasional.

Sejak semula, penyusunan RUU Cipta Kerja memang sudah bermasalah lantaran tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses perumusannya. Sejak penyusunan Naskah Akademik hingga menjadi RUU yang kemudian diserahkan ke DPR, proses perumusan RUU Cipta Kerja sepenuhnya diserahkan secara eksklusif kepada Satgas Pemerintah dan KADIN berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesai Nomor 378 Tahun 2019 Tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan KADIN Untuk Konsultasi Publik Omnibus Law. Meskipun Pasal 4 Kepmenko Perekonomian itu menyatakan bahwa Satgas dalam pelaksanaan tugasnya dapat melibatkan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, akademisi serta pihak lain yang dipandang perlu, namun dalam kenyataannya banyak pemangku kepentingan yang tidak dilibatkan dalam proses perumusan RUU Cipta Kerja. Hal ini terindikasi dari adanya sejumlah demonstrasi buruh di pelbagai tempat yang meneriakkan penolakan terhadap RUU tersebut.

Dengan demikian, aspirasi dan kepentingan kaum buruh sama sekali absen dan tidak diakomodir dalam proses perumusan RUU Cipta Kerja.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini

Comment

Jual Buku Perundang Undangan

Jual Buku Perundang Undangan
Jual Buku Hukum Ilmu Perundang Undangan : 3 Undang Undang Dasar RI / KUH Perdata / KUHD / KUHP Dan KUHAP / UUD 1945 Best Seller

Artikel Terbaru

>

Popular Posts

Random Artikel

Statistik Kunjungan

Taufik Irawan

Taufik Irawan
Pemerhati Hukum di Palangka Raya
 
Support : Promo dan Konsultasi : taufik.irawan79@yahoo.co.id
Copyright © 2013. Bang UFIK Youtube Channel - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger