Secara historis pada awalnya tugas negara masih sangat sederhana, yakni sebagai penjaga malam (natchwachter staad) yang hanya menjaga ketertiban, keamanan, dan keteraturan serta ketentraman masyarakat. Oleh karenanya negara hanya sekedar penjaga dan pengatur lalu lintas kehidupan masyarakat agar tidak terjadi benturan-benturan, baik menyangkut kepentingan hak dan kewajiban, kebebasan dan kemerdekaan, dan atau benturan-benturan dalam kehidupan masyarakat lainnya. Apabila hal itu sudah tercapai, tugas negara telah selesai dan sempurna. Pada suasana yang demikian itu HAN tidak berkembang dan bahkan statis.
Keadaan seperti ini tidak akan dijumpai saat ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara belahan dunia lainnya. Dalam batas-batas tertentu (sekecil, sesederhana dan seotoriter apapun) tidak ada lagi negara yang tidak turut ambil bagian dalam kehidupan warga negaranya. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya hal tersebut, maka perlu dibentuk hukum yang mengatur pemberian jaminan dan perlindungan bagi warga negara (masyarakat) apabila sewaktu-waktu tindakan administrasi negara menimbulkan keraguan pada warga masyarakat dan bagi administrasi negara sendiri. Untuk mewujudkan cita-cita itu fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya untuk menciptakan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus tidak dipandang sebagai kaidah semata-mata, akan tetapi juga sebagai sarana pembangunan, yaitu berfungsi sebagai pengarah dan jalan tempat berpijak kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan kehidupan bernegara. Disamping itu sebagai sarana pembaharuan masyarakat hukum harus juga mampu memberi motivasi cara berpikir masyarakat kearah yang lebih maju, tidak terpaku kepada pemikiran yang konservatif dengan tetap memperhatikan faktor- faktor sosiologis, antropologis, dan kebudayaan masyarakat.
Pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan negara mendapat perumusan yang yuridis. Ahli hukum Eropa Barat Kontinental, seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl mamakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon, seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Unsur-unsur Rechtsstaat, menurut konsep Eropa Kontinental adalah:
1. Adanya perlindungan hak-hak manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak- hak manusia (trias poltica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan.
Dengan maksud atau tujuan yang sama di negara-negara Anglo Saxon lahir asas “the rule of law state”, negara berdasarkan kekuasaan hukum. Praktek penerapan ajaran “the rule of law state”, misalnya terdapat di Inggris, Malaysia, Singapura dan Australia. Unsur-unsur Rechtsstaat, menurut konsep Englo Saxon adalah:
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Sesuai dengan perkembangan dalam kehidupan bernegara, maka perumusan yuridis mengenai negara hukum klasik dalam abad ke-19 juga ditinjau kembali dan dirumuskan sesuai dengan tuntutan abad ke-20, yang mengarah konsep negara welfare state (negara kesejahteraan). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep natchwachter staad (negara penjaga malam). Dalam natchwachter staad ada prinsip pembatasan atas peran negara dan pemerintah dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Akibatnya negara akhirnya akan menyengsarakan rakyatnya.
Sebagai reaksi atas keadaan tersebut, muncul gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang memiliki tanggungjawab terhadap keadaan warga negaranya termasuk dalam kesejahteraan, yang kemudian dikenal dengan konsep welfare state. Ciri utama dari konsep negara ini adalah adanya kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan konsekuensinya negara secara aktif dalam kehidupan ekonomi sosial masyarakat. Artinya, negara berhak bahkan wajib untuk ikut campur dalam kehidupan masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Dengan campur tangan negara terhadap kehidupan sosial masyarakat, maka jangkauan kerja pemerintah semakin luas, terlebih lagi tidak semua kehidupan masyarakat diatur dalarn ketentuan perundang-undangan. Itu artinya, bagi negara yang dalam hal ini adalah administrasi negara, memiliki suatu konsekuensi yang khusus. Dilihat dari teori dan konsep negara tesebut, negara Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara hukum (rechtsstaat), dalam arti welfare state (negara kesejahteraan). Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan negara kesejahteraan telah diamanatkan, bahwa:
1. Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa (warga Negara) Indonesia dan seluruh wilayah territorial Indonesia;
2. Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum;
3. Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Prof. Dr. Ismail Suny, SH, MCL, dalam bukunya Mekanisme Demokrasi Pancasila mengatakan, bahwa negara hukum Indonesia memuat unsur-unsur:
1) Menjunjung tinggi hukum;
2) Adanya pembagian kekuasan;
3) Adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia serta remedi-remedi prosedural untuk mempertahankannya;
4) Dimungkinnya adanya peradilan administrasi.
International Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 sangat memperluas konsep mengenai Rule of Law, dan menekankan apa yang dinamakannya “ the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age”. Dianggap bahwa di samping hak-hak politik juga hak-hak sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara. Hal ini berarti campur-tangan pemerintah dalam kerangka welfare state (negara kesejahteraan) harus didasarkan untuk kesejahteraan warga masyarakatnya.
Dalam konsep welfare state syarat untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law adalah:
1. Perlindungan konstitusionil, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin dari hak-hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (Independent and impartial tribunals);
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan (civil education).
Sifat negara dalam ajaran negara hukum mengandung tiga asas-asas pokok, yaitu:
1. Asas monopoli paksa (zwangmonopol)
Asas ini mengandung arti, bahwa monopoli kekuasaan negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang mentaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu. Jadi, siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang. Barangsiapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan menggunakan paksaan tanpa wewenang sebagaimana dimaksud di atas disebut “main hakim sendiri”.
2. Asas persetujuan rakyat berarti bahwa: orang ( warga masyarakat hanya wajib tunduk, dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan yang dicipta secara sah dengan persetujuan langsung ( undang-undang formal ) atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas kuasa undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, bilamana ada peraturan ( misalnya : mengadakan pungutan pembayaran atau “sumbangan wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasai oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah dan hakim Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau menaatinya, dan bilamana pejabat penguasa memaksakan peraturan tersebut, maka dia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan Negara, minimal digugat sebagai perkara “perbuatan penguasa yang melawan hukum”.
3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa: rakyat dan penguasa negara bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap, legal partnership). Sehingga para pejabat pengusaha negara didalam menjalankan tugas dan fungsi beserta menggunakan kekuasaan negara mereka tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama dengan rakyat (warga masyarakat). Berarti: baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama. Inilah asas Equality before the law, yang berarti, bahwa para pejabat penguasanegara didalam dan pada waktu menjalankan tugas kewajiban untuk negara pun tidak kebal hukum, tidak boleh melanggar hukum, tidak boleh melanggar tata kesopanan, oleh karena melanggar tata kesopanan pun sudah sama dengan melanggar hukum, dan tidak boleh melanggar kode etik.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini