Solus POPULI Suprema LEX

Kesejahteraan Rakyat adalah Aturan Tertinggi
Home » , » Eksekusi Putusan Dalam Hukum Acara Perdata

Eksekusi Putusan Dalam Hukum Acara Perdata

Written By Bang UFIK on Minggu, 10 Desember 2023 | 19.33

Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan di bawah pimpinan ketua pengadilan (Abdul Kadir Muhammad, 1986: 217). Putusan pengadilan dipaksakan kepada pihak yang dikalahkan, karena ia tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Eksekusi memuat aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Eksekusi merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum acara, karena penggugat bukan hanya mengharapkan putusan pengadilan yang memenangkan / menguntungkannya, tetapi ia juga mengharapkan putusan tersebut dapat dilaksanakan. Apabila putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka kemenangan penggugat dirasakan sia-sia. Bahkan dapat dikatakan ia telah mengalami kerugian, karena ia tidak memperoleh hak yang sepatutnya ia terima setelah melewati proses persidangan yang membutuhkan pengorbanan berupa tenaga, waktu maupun biaya.

Menurut Indroharto (1993:243), yang dimaksud dengan eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Mengenai hakekat dari   pelaksanaan   putusan,   Sudikno   Mertokusumo   mengemukakan   (1982:   205)   : Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat   negara. Sehingga, pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban dari pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. Dalam hubungan ini, Subekti (1978: 52) mengemukakan bahwa, perkataan eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung paksaan.

Putusan pengadilan dipaksakan kepada pihak yang dikalahkan tadi karena ia enggan mematuhi secara sukarela. Tujuan pelaksanaan putusan atau eksekusi tidak lain untuk merealisasikan suatu putusan menjadi suatu prestasi. Sejalan dengan ini, Djazuli Bachar (1987: 9) bahwa isi putusan pengadilan/ amar putusan adalah hukum sebagai pencerminan norma hukum yang berlaku dalam masyarakat yang pernah dilanggar dan karena itu keseimbangan berlakunya norma itu menjadi terganggu dan menuntut pemulihan. Suatu rangkaian usaha untukmelaksanakan hukum perlu dilakukan dalam kegiatan ini merupakan penegakan hukum setelah diminta oleh yang berkepentingan.

Oleh karena tujuan hukum acara atau hukum formil adalah untuk mempertahankan dan memelihara hukum materiil, maka hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan (Supomo: 119).

A.   Dasar Hukum Eksekusi

Dalam hukum acara perdata, dasar hukum eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam:

a.  Pasal 206 sampai dengan pasal 258 RBg ; Pasal 195 sampai dengan pasal 224 HIR;

b. Pasal 1033 Rv ;

c.  Pasal 36 ayat (3) dan (4) UU No. 4 tahun 2oo4 tentang kekuasaan kehakiman;

d. Berbagai peraturan perundang-undangan yang substansinya lebih bersifat khusus, seperti  eksekusi  hak  tanggungan  (UU  No.  4/1996),  eksekusi  fidusia  (  UU  No. 42/1999).

Baik HIR maupun RBg secara rinci memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan (eksekusi), dari awal mulainya proses eksekusi sampai berakhirnya eksekusi, yaitu sampai terpenuhinya isi putusan pengadilan. Dalam Pasal- Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR / Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg telah diatur ketentuan tentang:

a.       Peringatan / teguran (aanmaning) ;

b.       Sita eksekusi ;

c.  Pemenuhan prestasi : pengosongan obyek sengketa, penyerahan obyek sengketa, pelelangan, pembayaran;

d.       penyanderaan (gijzeling).

Oleh karena eksekusi dalam dirinya sudah mengandung pengertian “paksaan dari pejabat umum”, hukum acara perdata telah secara rinci mengatur siapa yang memerintahkan dan memimpin paksaan itu, dan bagaimana caranya paksaan itu dilakukan, sehingga isi putusan itu  dapat direalisir. Pasal 36 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pengawasan Ketua Pengadilan Negeri.

B.   Asas-Asas Eksekusi.

Ada empat asas penting dalam hukum acara perdata, yaitu:

1.     Menjalankan putusan yang telah bekekuatan hukum tetap;

2.     Putusan tidak dijalankan secara sukarela;

3.     Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir;

4.     Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan.

1.       Menjalankan Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Pada prinsipnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau pasti (in kracht van gewijsde), kecuali putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Suatu putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut sudah tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Dalam hukum acara sebagai telah diuraikan, dikenal tiga jenis upaya hukum biasa terhadap putusan pengadilan yaitu, verzet, banding dan kasasi., kecuali putusan serta merta. Putusan-putusan tersebut adalah:

a.     Putusan verstek yang tidak dimohonkan verzet;

b.     Putusan pengadilan negeri yang tidak dimohonkan banding;

c.     Putusan pengadilan tinggi yang tidak dimohonkan kasasi;

d.     Putusan kasasi;

e.     Putusan perdamaian.

Putusan yang berkekuatan hukum tetap berarti putusan itu sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif sebagai yang sudah benar dan tidak boleh diubah lagi (Djazuli  Bachar:  1987:  20).  Putusan  yang telah  berkekuatan  hukum  tetap  itu  pada dasarnya tidak dapat diganggu gugat lagi dengan cara-cara atau upaya-upaya hukum bias.  Isi  atau  amar  dari  putusan  tersebut  sudah  dapat  diterapkan     dan  sudah menimbulkan akibat-akibat hukum. Oleh karenanya, isi putusan pengadilan itu harus ditaati oleh para pihak.

M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah:

§   Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ;

§   Karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap   telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara  pihak yang berperkara.

§   Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti:

-      Hubungan hukum tersebut mesti ditaati; dan

-      Mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat).

§   Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap :

-      Dapat dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat ; dan

-   Bila enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam  putusan  harus  dilaksanakan  dengan   paksa dengan jalan bantuan kekuatan umum.

2.       Putusan Tidak Dijalankan Secara Sukarela

Sesungguhnya ada dua cara menjalankan isi putusan , yaitu:

a.     Dengan cara sukarela dan;

b.     Dengan cara paksa (pelaksanaan putusan secara paksa atau eksekusi).

Eksekusi baru menjadi pilihan apabila tergugat yang dikalahkan tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela. Dalam hal pihak yang dikalahkan dalam putusan tersebut bersedia menjalankan putusan secara sukarela, maka menjalankan putusan secara eksekusi sudah tidak relevan lagi. Hal ini terjadi karena pihak yang dikalahkan sudah secara sempurna telah memenuhi prestasi yang dibebankan   kepadanya sebagai yang tercantum dalam amar putusan pengadilan.

Dengan demikian, eksekusi diawali dengan tidak bersedianya pihak  yang dikalahkanuntuk melaksanakan isi putusan pengadilan secara sukarela.  Keadaan ini ditindaklanjuti oleh pihak yang menang dengan mengajukan permohonanbaik secara lisan maupun secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan pengadilan dilaksanakan. Atas dasar permohonan ini, Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur (aanmaning) agar memenuhi putusan pengadilan dalam jangka waktu 8 hari sejak teguran itu (Pasal 207 RBg / Pasal 196 HIR).

 

 

 

 

3.       Putusan Yang Dapat dieksekusi Bersifat Condemnatoir

Putusan pengadilan yang bisa dieksekusi adalah putusan yang bersifat “menghukum”. Ciri khas putusan yang bersifat condemnatoir / menghukum adalah sifat imperatif yang tertuang dalam amar putusan berupa kata-kata menghukum atau memerintahkan atau membebankan.

Contoh :

1)    Menghukum tergugat atau siapapun yang diberi hak dari padanya terhadap tanah sawah sengketa tersebut untuk segera menyerahkan kepadapenggugat baik secara sukarela maupun dengan cara eksekusi, bila perlu dengan bntuan polisi.(Angka 3 Amar putusan Pengadilan Negeri    Denpasar No. 79/ Pdt. G./ 1998 / PN.Dps, tertanggal 5 Januari 1999).

2)    Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi  materiil  sebesar    Rp.  680.250.000.000,-  (enam  ratus  delapan  puluh milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) secara tunai kepada Para Penggugat ditambah bunga 6 % per tahun sejak gugatan ini didaftarkan Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai seluruhnya dibayar lunas. (Amar Putusan Dalam Pokok Perkara angka 6 dalam Putusan Pengadilan NegeriJakarta Pusat No. 10 / Pdt. G / 2010 / PN. Jkt. Pst tertanggal 14 April 2011).

4.       Eksekusi Atas Perintah dan Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan

Ketua pengadilan yang dimaksud adalah ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa dan memutus perkara tersebut. Asas ini tertuang dalan pasal 206 ayat (1) RBg / pasal 195 ayat (1) HIR dan pasal 36 ayat (3) UU No. 4 tahun 2004. Dalam  hukum  acara  perdata jelas  dan  tegas  fungsi  ketua  pengadilan  sebagai  yang memerintahkan dan yang memimpin pelaksanaan putusan (eksekusi).

Pasal 206 ayat (1) dan ayat (2) RBg menentukan:

(1).      Pelaksanaan hukum (eksekusi) perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam tingkat pertama dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua menurut cara yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut.

(2).    Jika putusan seluruhnya atau sebagian harus dilaksanakan di luar wilayah hukum jaksa di tempat kedudukan pengadilan negeri atau ketua tidak ada di tempat itu, maka ketua dapat minta secara tertulis perantaraan jaksa yang bersangkutan.

“Jaksa” dalam ayat (2) dan ayat-ayat lainnya dalam ketentuan ini harus dianggap tidak ada, dan dalam konteks hukum acara perdata sekarang dibaca “pengadilan negeri” dan atau “wilayah hukum pengadilan negeri”.

Yang dimaksud dengan “di bawah pimpinan Ketua Pengadilan” dalam ketentuan Pasal 206 ayat (1) RBg / Pasal 195 ayat (1) Hir adalah mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai selesainya pelaksanaan putusan. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 / 2004), Pasal 3 ayat (3) ditentukan: pelaksanaan putusan pengadilan dalan perkara perdata dilakukan oleh juru sita dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

Dengan mengkaitkan Pasal 206 ayat (1) RBg / Pasal 195 ayat (1) HIR dengan Pasal 208 RBg / Pasal 197 ayat (1) HIRYahya Harahapmengemukakan bahwa gambaran konstruksi hukum kewenangan menjalankan eksekusi dapat diterngkan sebagai berikut:

§  Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi;

§  Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Negeri adalah secara ex officio;

§  Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berbentuk “Surat Penetapan” (beschikking);

§  Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah panitera atau juru sita Pengadilan Negeri.

C.   Proses Eksekusi

Baik RBg maupun HIR secara rinci memuat ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan (eksekusi), dari awal mulainya proses eksekusi sampai berakhirnya eksekusi, yaitu sampai terpenuhinya isi putusan pengadilan. Dalam pasal 206 sampai dengan pasal 258 RBg atau pasal 195 sampai dengan pasal 224 HIR telah diatur ketentuan ketentuan tentang: a. Peringatan / teguran / aanmaning, b. Sita eksekusi, c. pemenuhan prestasi (pengosongan obyek sengketa, penyerahan obyek sengketa, pelelangan, pembayaran), dan penyanderaan/ gijzeling.

Eksekusi diawali dengan adanya permohonan eksekusi dari pihak yang dimenangkan. Atas dasar permohonan ini, ketua pengadilan negeri memanggil tergugat dan memberikan peringatan atau “aannmaning” kepada tergugat agar tergugat melaksanakan isi putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang ditentukan, yaitu 8 hari. Peringatan ini dilakukan dalam suatu persidangan insidental yang dihadiri oleh ketua pengadilan, panitera dan tergugat. Apabila tergugat tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka pemberian peringatan dianggap telah terjadi.

Apabila tergugat tetap tidak melaksanakan isi putusan pengadilan, dan tenggang waktu yang diberikan dalam peringatan telah terlampaui, maka secara ex officio ketua pengadilan negeri sudah dapat mengeluarkan perintah eksekusi.Eksekusi dilaksanakan oleh  panitera  atau  juru  sita.  Untuk  kepentingan  itu,  ketua pengadilan negeri mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Eksekusi, dan memerintahkan panitera atau juru sita untuk melakukan pembebanan sita eksekusi / executorial beslag, yaitu supaya disita sejumlah barang tidak tetap (benda bergerak), dan jika tidak ada barang seperti itu, atau ternyata tidak cukup, maka benda tetap kepunyaan orang yang dikalahkan  tersebut,  sehingga  dirasa  cukup  sebagai  pengganti  jumlah  uang  yang tersebut dalam putusan dan seluruh biaya tersebut (Pasal 208 ayat (1) RBg / Pasal 197 ayat  (1)  HIR).  Kelanjutan  dari  sita  eksekusi  ini    adalah  penjualan  lelang,  yang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang, kecuali terhadap jumlah pembayaran yang sangat kecil.

Pejabat yang melakukan eksekusi (panitera atau juru sita dan dibantu oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi) diperintahkan secara tegas untuk membuat berita acara eksekusi (Pasal 209 ayat 940 RBG / Pasal 197 ayat (5) HIR).  Berita acara eksekusi ditanda tangani oleh pejabat pelaksana (panitera atau juru sita) dan dua orang saksi yang membantu pelaksanaan eksekusi (Pasal 210 ayat (1) RBg / Pasal 197 ayat (6) HIR. Tanpa berita acara eksekusi, eksekusi dianggap tidak sah.

Berita acara penyitaan terhadap benda tetap harus diumumkan (didaftarkan) pada kantor yang berwenang untuk itu, yang kemudian harus diumumkan oleh kepala desa menurut kebiasaan (Pasal 213 ayat (1) dan (2) RBg / Pasal 198 ayat (1) dan (2) HIR). Pengumuman ini merupakan syarat yang harus dipenuhi. Adapun tujuan dari pendaftaran dan   pengumunan   sita   yang dilaksanakan   terhadap   barang   tergugat ini adalah :

§   Secara resmi diberitahukan kepada masyarakat;

§   Secara resmi terbuka untuk umum

§   Setiap orang dapat membaca dan memeriksanya pada buku register yang khusus pada kantor jawatan yang berwenang untuk itu.

Uraian di atas adalah executorial beslag setelah putusan pengadilan mempunyai

 

kekuatan hukum tetap. Ada pula executorial beslag yang terjadisecara otomatis sebagai kelanjutan  dari conservatoir beslag (sita jaminan). Sita jaminan yang dinyatakan sah dan berharga dalam putusan pengadilan, secara otomatis berubah menjadi sita eksekutoria (executorial beslag) ketika putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Sita jaminan ini pada umumnya sudah dimohonkan penggugat dalam gugatannya, atau ketika proses persidangan masih berjalan.

Kelanjutan dar pada sita eksekusi adalah penjualan lelang atas barang-barang atau benda-benda yang telah disita. Penjualan lelang ini harus dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang (Pasal 215 ayat (1) RBg / Pasal 200 ayat (1) HIR).  Pengecualian atas keharusan penjualan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang dimungkinkan apabila jumlah (pembayaran) yang dihukum kepada tergugat sangat kecil (Pasal 215 ayat (2) RBg / Pasal 200 ayat (2) HIR)

Dalam eksekusi riil, yang dirumuskan dalam Pasal 218 ayat (2) RBg / Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 1033 Rv, tatacaranya relatif sederhana dan mudah, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

a.      Ketua pengadilan negeri mengeluarkan perintah eksekusi (pengosongan);

b.     Perintah menjalankan eksekusi ditujukan kepada juru sita;

c.      Tindakan pengosongan meliputi diri si terhukum, keluarganya dan barang- barangnya.

d.     Eksekusi dapat dilakukan dengan minta bantuan aparat keamanan /kekuatan umum.

D.   Jenis-Jenis Eksekusi

Dikenal 3 (tiga) jenis eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan dalam hukum acara perdata, yang ketentuan diatur sebagai berikut, yaitu :

2.     Eksekusi membayar sejumlah uang

Pasal 195 HIR (Pasal 206 RBg) menyatakan bahwa:

1)    Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan dibawah pengawasan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut ini:

2)    Jika keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerahhukum pengadilan negeri tersebut di atas, maka ketuanya meminta bantuandengan surat pada ketua pengadilan yang berhak; begitu juga halnya pelaksanaan putusan di luar jawa dan madura.

3)    Ketua pengadilan negeri yang diminta bantuan itu harus bertindak  menurut ketentuan ayat di atas, jika nyata baginya, bahwa keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukumnya.

4)    Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya oleh teman sejawatnyadari luar jawa dan madura, berlaku segala peraturan dalam bagian ini, tentang segala perbuatan yang akan dilakukan karena permintaan itu.

5)    Dalam dua kali dua puluh empat jam, ketua yang diminta bantuan itu harusmemberitahukan segala usaha yang telah diperintahkan dan hasilnya kepada ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama, memeriksa perkara itu.

6)    Jika pelaksanaan keputusan itu dilawan, juga perlawanan itu dilakukan oleh orang lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai barang miliknya, makahal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa, diajukan kepada dandiputus oleh pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya harus dilaksanakan keputusan itu.

7)    Perselisihan dan keputusan tentang perselisihan itu, tiap dua kali dua puluh empat jam, harus diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri itukepada ketua pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu. Pasal 196 HIR (Pasal 207 RBg) menyatakan bahwa : Jika  pihak  yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang menang mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan lisan maupun dengan surat , supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua akan memanggil pihak yang kalah serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan  dalam  waktu  yang  ditentukan  oleh  ketua  selama- lamanya delapan hari.

Pasal 197 HIR menyatakan bahwa:

1)    Jika sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang dikalahkanbelum juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu sesudah dipanggildengan patut, tidak juga datang menghadap, maka ketua karena jabatannyaakan memberi perintah dengan surat, supaya diseita sekalian banyak  barang-barang bergerak  dan  jika barang  demikian  tidak  ada atau ternyata tidak cukup, sekian banyak barang tak bergerak kepunyaan orang yang dikalahkan itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang yang  tersebut  dalam  keputusan  itu  dan  ditambah  semua  biaya  untuk menjalankan keputusan itu.

2)    Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.

3)    Bila panitera itu berhalangan karena alasan dinas atau karena alasan yang lain,maka  ia  ia  digantikan  oleh  seorang  yang  cakap  atau  yang  dapat dipercaya, yang  ditunjuk untuk itu oleh ketua atau atas permintaannya oleh kepala pemerintahan setempat; dalam hal menunjuk orang itu menurut cara tersebut, jika dianggap perlu menurut keadaan, ketua berkuasa juga untuk menghemat biaya sehubungan dengan jauhnya tempat penyitaan itu.

4)    Penunjukkan orang itu dilakukan hanya dengan menyebutkannya saja atau dengan mencatatnya pada surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini.

5)    Panitera itu atau orang yang ditunjukkan sebagai penggantinya , hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaannya, dan memberitahukan tentang isi berita acara tersebut kepada orang yang disita barangnya itu, kalau ia ada hadir.

6)    Penyitaan dilakukan dengan bantuan dua orang saksi, yang namanya, pekerjaannya dan tempat diamnya disebutkan dalam pemberitaan acara, dan mereka turut menanda tangani berita acara yang asli dan salinannya.

7)    Saksi itu haruslah penduduk Indonesia, telah berumur 21 tahun dan dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya oleh orang menyita, atau diterangkan demikian oleh seorang pamong praja.

8)    Penyitaan barang bergerak milik orang yang berutang (debitur), termasuk uang tunai dan surat-surat  berharga,  boleh  juga  dilakukan  atas  barang bergerak yangbertubuh, yang ada di tangan orang lain, akan tetapi tidak dapat dijalankan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dapergunakan dalam menjalankan pencaharian orang yang terhukum itu.

9)    Panitera atau orang yang ditunjuk menjadi penggantinya hendaklah membiarkan, menurut keadaan, barang-barang bergerak itu seluruhnyaatau sebagian disimpan oleh orang yang barangnya disita itu, ataumenyuruh membawa barang itu seluruhnya  atau  sebagian  ke  satu  tempat persimpanan yang patut. Dalam hal pertama, maka ia memberitahukan kepada polisi desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus menjaga,   supaya   jangan   ada   dari   barang   itu   dilarikan.   Bangunan bangunanorang Indonesia yang tidak melekat pada tanah, tidak boleh dibawa.

3.     Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan

Ketentuan-ketentuannya diatur dalam: Pasal 225 HIR (Pasal 259 RBg) menentukan :

1)      Jika seorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidakmelakukannya dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang   perkara   boleh   meminta   kepada pengadilan   negeri   dengan perantaraan ketua, baik dengan surat, maupun dengan lisan, supaya keuntungan yang akandidapatnya jika putusan itu dipenuhi, dinilai dengan uang tunai yangbanyaknya harus diberitahukan dengan pasti; permintaan itu harus dicatat jika diajukan dengan lisan.

2)      Ketua mengajukan perkara itu dalam persidangan pengadilan negeri, sesudah debitur diperiksa atau dipanggil dengan sah, maka pengadilan negeri akanmenentukan apakah permintaan itu akan ditolak, atau perbuatan yang diperintahkan tetapi tidak dilakukan akan dinilai sebesar jumlah yang dikehendaki oleh peminta atau kurang dari jumlah itu; dalam hal terakhirini, debitor dihukum membayar jumlah tersebut.

Pasal 606 a Rv. Menyatakan bahwa:

Sepanjang keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada  membayar  sejumlah  uang,  maka  dapat  ditentukan  bahwa  sepanjang  atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah  uang  yang  besarnya  ditetapkan  dalam  keputusan  hakim  dan  uang tersebut dinamakan uang paksa.

3. Eksekusi Riil

Ketentuan eksekusi riil terhadap harta / barang-barang jaminan pihak yang dikalahkan ,  diatur di dalam : Pasal 197 HIR (sebagaimana telah disebutkan di atas), Pasal 198 HIR, Pasal 200 ayat (11) HIR, Pasal 208 RBg, Pasal 218 ayat (2) RBg, Pasal   1033 Rv.

Pasal 198 HIR menentukan :

1)    Jika yang disita barang tetap, maka berita acara penyitaan itu   diumumkan dengan cara sebagai berikut: jika barang tetap itu sudah dibukukan menurut ordonansi tentang membukukan hypotheek atas barang itu di Indonesia (Staatsblad 1834 No. 27) dengan menyalin pemberitaan acara itu di dalam daftar yang tersebut pada pasal  50 dari aturan tentang menjalankan undang- undang baru (Staatsblad 1848 No. 10); dan jika tidak dibukukan menurut ordonansi yang tersebutdi atas ini, dengan menyalin pemberitaan acara itu dalam daftar yang disediakan untuk maksud itu dengan menyebut  jam, hari, bulan dan tahun harus disebut oleh panitera pada surat asli    yang diberikankepadanya.

2)    Lain dari itu orang yang disuruh menyita barang itu, memberi perintah kepada kepala desa supaya hal penyitaan barang itu diumumkan di tempat itu menurut cara yang dibiasakan, sehingga diketahui seluas-luasnya oleh ketua, yang tinggal ditempat penjualan itu dilakukan atau di dekat tempat itu.

Pasal 208 RBg menentukan:

Bila setelah lampau tenggang waktu yang telah ditentukan, putusan hakim tidak dilaksankan atau pihak yang kalah tidak datang menghadap setelah dipanggil, maka ketua atau jaksa yang diberi kuasa karena jabatannya mengeluarkan perintah untuk menyita  sejumlah barang bergerak itu dan jika jumlahnya diperkirakan tidak akan mencukupi, juga sejumlah barang-barang tetap milik pihak yang kalah sebanyak diperkirakan akan mencukupi untuk membayar jumlah uang sebagai pelaksanaan putusan, dengan batasan-batasan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli, hanya  dapat  dilakukan  penyitaan  atas  harta  (harta  pusaka)  jika  tidak  terdapat cukup kekayaan dari harta pencarian   baik yang berupa barang bergerak maupun barang tetap.

Pasal 200 ayat (11) HIR menentukan:

Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan  negeri  akan  membuat  surat  perintah  kepada  orang  yang  berwenang, untuk menjalankan surat juru sita  dengan bantuan panitera pengadilan negeri, jika perlu dengan pertolongan polisi, supaya barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya itu serta oleh sanak saudaranya.

Pasal 218 ayat (2) RBg menentukan:

Jika pemilik barang yang telah dilelang enggan untuk menyerahkan barang yang telah dijual itu, maka ketua pengadilan negeri atau jaksa yang dikuasakan secara   tertulis   mengeluarkan   surat   perintah   kepada   pejabat   yang   bertugas memberitahukan  untuk,  bila  perlu  dengan  bantuan  polisi,  memaksa  agar  yang membangkang itu beserta keluarganya meninggalkan dan mengosongkan barang itu. Pejabat yang bertugas menjalankan perintah dibantu oleh panitera pengadilan negeri atau oleh seorang pegawai berkebangsaan Eropa yang ditunjuk oleh ketua atau oleh jaksa yang dikuasakan atau bila orang semacam itu tidak ada, oleh seorang kepala desa Indonesia atau pegawai Indonesia yang ditunjuk oleh ketua atau oleh jaksa yang dikuasakan.

 

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini

Comment

Jual Buku Perundang Undangan

Jual Buku Perundang Undangan
Jual Buku Hukum Ilmu Perundang Undangan : 3 Undang Undang Dasar RI / KUH Perdata / KUHD / KUHP Dan KUHAP / UUD 1945 Best Seller

Artikel Terbaru

>

Popular Posts

Random Artikel

Statistik Kunjungan

Taufik Irawan

Taufik Irawan
Pemerhati Hukum di Palangka Raya
 
Support : Promo dan Konsultasi : taufik.irawan79@yahoo.co.id
Copyright © 2013. Bang UFIK Youtube Channel - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger