Solus POPULI Suprema LEX

Kesejahteraan Rakyat adalah Aturan Tertinggi
Home » » Dinamika Gratifikasi Dalam Praktik Hukum Administrasi Negara

Dinamika Gratifikasi Dalam Praktik Hukum Administrasi Negara

Written By Bang UFIK on Sabtu, 02 Maret 2024 | 10.42

Author : Taufik Irawan

Gratifikasi merupakan akar dari korupsi sehingga menjadi ancaman serius bagi integritas lembaga pemerintahan, termasuk Hukum Administrasi Negara yang memiliki peran krusial dalam mengelola dan menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dengan menjaga keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Dinamika gratifikasi dalam praktik Hukum Administrasi Negara menjadi perhatian utama karena dapat merusak fondasi moral dan etika administrasi publik. Praktik-praktik ini melibatkan pemberian atau penerimaan hadiah, uang, atau keuntungan lainnya sebagai bentuk imbalan untuk memengaruhi keputusan atau tindakan pejabat administrasi negara.[1] Dalam konteks Hukum Administrasi Negara, gratifikasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk penerimaan hadiah dari pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan keputusan administratif.

Konflik kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014[2] : “kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan dan/atau yang dilakukannya.”

Meskipun ada berbagai regulasi yang mengatur gratifikasi dalam konteks Hukum Administrasi Negara, tantangan dalam penanganan masih ada. Faktor seperti kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya kesadaran merupakan dampak buruk dari gratifikasi yang dapat menjadi hambatan utama. Muladi menyatakan bahwa penerimaan gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara merupakan kebiasaan yang berpotensi koruptif, karenanya    pengendalian    gratifikasi    disebut    sebagai    budaya    tandingan (counter culture), sebab dalam perkembangan global gratifikasi untuk pejabat menjadi hal yang terlarang dalam etika bisnis perdagangan dunia.[3] Situasi yang menyebabkan seorang pegawai ASN menerima gratifikasi atas suatu keputusan/jabatan merupakan salah satu contoh kejadian yang sering dihadapi ASN dan dapat menimbulkan konflik kepentingan. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi antara lain adalah:[4]

a.  Penerimaan gratifikasi dapat membawa vested interest (kepentingan pribadi) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi ASN dapat terganggu;

b.  Penerimaan gratifikasi dapat memengaruhi objektivitas dan penilaian profesional ASN;

c.   Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Di tengah upaya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, gratifikasi menjadi ancaman serius terhadap integritas sistem. Oleh karena itu, penelitian tentang dinamika gratifikasi dalam praktik Hukum Administrasi Negara menjadi esensial untuk mengidentifikasi akar masalah dan mengembangkan strategi penanganan yang efektif.[5]

Pemahaman yang mendalam terhadap dinamika gratifikasi diperlukan untuk mengidentifikasi (1) Apa saja yang termasuk gratifikasi ?; (2) Apa saja bentuk dinamika gratifikasi ?; (3) Bagaimana mengatasi gratifikasi dalam praktik Hukum Administrasi Negara. Penulisan tentang dinamika gratifikasi dalam hukum administrasi Negara ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) atau metode normatif[6] yakni metode yang digunakan dengan mempelajari dan menelaah buku literatur, perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan materi pembahasan, serta referensi dari kamus dan sejumlah artikel dari sumber online/situs web.[7]

Pemahaman Konsep Gratifikasi

Penting untuk memahami berbagai bentuk gratifikasi dan cara dimana hal tersebut dapat terjadi dalam lingkup Hukum Administrasi Negara. Istilah gratifikasi baru dikenal dalam ranah hukum pidana Indonesia sejak tahun 2001 melalui undang- undang   nomor   20   tahun   2001 tentang Perubahan atas undang- undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). Penjelasan Pasal 12B UU TIPIKOR menyebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.[8]

Pengertian gratifikasi tersebut menunjukkan bahwa kalimat yang termasuk dalam definisi gratifikasi terdapat kata-kata “pemberian dalam arti luas”, sedangkan kata-kata setelah itu merupakan “bentuk-bentuk gratifikasi”. Dilihat dari sisi ini, definisi gratifikasi menurut pengertian tersebut mempunyai makna netral. Suatu pemberian baru akan menjadi gratifikasi yang dianggap sebagai suap jika terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.[9] Banyak kalangan bahkan mengusulkan penyediaan layanan seksual menjadi bagian gratifikasi[10] karena layanan seks dapat diartikan sebagai suatu pemberian kepada seseorang (pegawai negeri atau penyelenggara negara) yang dapat dijadikan sebagai sarana imbal balik dari perbuatan orang tersebut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai keinginan pemberi layanan seks.

Tingkat Kesadaran dan Etika

Dinamika gratifikasi erat kaitannya dengan tingkat kesadaran dan etika di kalangan pejabat administrasi negara. Adanya tekanan atau godaan eksternal dapat mempengaruhi keputusan pejabat, dan tingkat etika yang tinggi menjadi kunci untuk menanggulangi praktik ini. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara salah satu landasan yang wajib dimiliki ASN sebagai profesi adalah kode etik dan kode perilaku. Kode etik dan kode perilaku tersebut bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN.[11] Pasal 5 ayat (2) UU ASN, kode etik dan kode perilaku berisi pengaturan perilaku pegawai ASN “Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya”. Beberapa sumber konflik kepentingan yang wajib dijadikan perhatian bagi ASN adalah :[12]

a.      Kekuasaan dan kewenangan penyelenggara negara yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan;

b.      Perangkapan jabatan, yakni seorang penyelenggara negara menduduki dua atau lebih jabatan publik sehingga sulit menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel;

c.      Hubungan afiliasi, yakni hubungan yang dimiliki seorang penyelenggara negara dengan pihak tertentu baik karena hubungan darah, perkawinan, maupun pertemanan yang dapat memengaruhi keputusannya;

d.      Gratifikasi, yakni pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya;[13]

e.      Kelemahan sistem organisasi, yakni keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan penyelenggara negara yang disebabkan karena aturan, struktur, dan budaya organisasi yang ada; dan

f.        Kepentingan pribadi, yakni keinginan/kebutuhan seorang penyelenggara negara mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.

Sistem Pengawasan yang Tidak Memadai

Jika sistem pengawasan internal dan eksternal tidak memadai, maka praktik gratifikasi dapat terjadi tanpa terdeteksi. Dinamika ini menekankan pentingnya meningkatkan mekanisme pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Asas tidak menyalahgunakan wewenang[14] mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk tidak menggunakan kewenangannya[15] untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

Dibandingkan pengawasan eksternal, pengawasan internal memiliki tingkat integrasi yang lebih tinggi dengan manajemen yang diawasinya (G.R. Terry dan Leslie W. Rue, 2001). Sedangkan peran DPRD dalam melakukan fungsi pengawasan sangat penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan menjamin objektivitas pengawasan.

Konsep pengawasan eksternal merujuk pada Lembaga Administrasi Negara (1997) yang menyatakan bahwa pengawasan eksternal terdiri dari pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. Hasil penelitian Heryati (2007) menyimpulkan bahwa pengawasan berpengaruh terhadap kinerja sebesar 63%. Hal ini berarti kinerja pegawai dipengaruhi sangat signifikan oleh pengawasan. Tidak adanya hubungan kedinasan antara Inspektorat selaku pengawas internal dengan DPRD dan masyarakat selaku pengawas eksternal semestinya tidak menjadi hambatan bagi upaya pengawasan secara sinergis di antara keduanya. Merujuk pendapat Budiardjo dan Ambong (1993), dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD diberikan kekuasaan untuk memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Peran DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi pengawasan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengawasan dan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang[16] terlebih dahulu dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Hasil pengawasan APIP terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang berupa tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Kondisi Lingkungan Organisasi

Budaya organisasi dapat memainkan peran signifikan dalam dinamika gratifikasi. Jika budaya mendukung integritas dan transparansi, maka pejabat cenderung lebih berhati-hati terhadap praktik gratifikasi. Sebaliknya, budaya yang toleran terhadap perilaku koruptif dapat memperkuat praktik ini. Hal ini dapat dicapai dengan mewujudkan kepatuhan pegawai terhadap ketentuan pengendalian gratifikasi, dan menciptakan kredibilitas dan kepercayaan publik atas penyelenggaraan layanan serta penegakan hukum.[17]

Berkembangnya adagium “tidak boleh menolak rejeki” semakin memperkuat kebiasaan tersebut hingga nyaris menjadi perilaku keseharian, termasuk dalam pelayanan publik di masyarakat. Sehingga dikenal berbagai istilah seperti “uang terimakasih”, “uang lelah”, “biaya kopi” atau istilah lain yang mirip. Pembenaran menggunakan alasan kebiasaan, adat istiadat, dan bahkan perayaan agama juga tidak jarang mengemuka.[18]

Keterlibatan Pihak Eksternal

Keterlibatan pihak eksternal, seperti kontraktor atau pihak bisnis, dapat memperumit dinamika gratifikasi. Pemberian gratifikasi dari pihak eksternal dapat menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan atau fasilitas tertentu dalam proses administrasi negara. Akan tetapi, dalam praktek, seringkali ditemukan upaya pembenaran terhadap penerimaan gratifikasi. Mengacu pada data Global Corruption Barometer (GCB) Tahun 2013 yang dirilis Transparency International, untuk mendapatkan pelayanan publik 71% responden mengatakan mengeluarkan “uang pelicin” agar dapat mengakses pelayanan publik. Empat latar belakang utama pembayaran uang pelicin tersebut adalah: satu-satunya cara mendapatkan pelayanan (11%); mempercepat pengurusan (71%); mendapatkan pelayanan lebih murah (6%); sebagai hadiah atau ucapan terima kasih (13%).Dari sudut pandang pelaku usaha atau pihak swasta, ragam sebutan gratifikasi itu sesungguhnya dilihat sebagai biaya tambahan, yang memicu fenomena ekonomi biaya tinggi. Hal ini terjadi hampir di semua ruang gerak pelaku usaha yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi institusi pemerintah. Biaya tambahan seperti ini tentu saja berimplikasi pada harga sebuah produk hingga sampai di tangan konsumen. Dengan kata lain, masyarakatlah sebagai konsumen akhir yang menanggung “biaya gelap”.

Tantangan Penegakan Hukum

Tantangan dalam menegakkan hukum terkait gratifikasi, termasuk kerumitan bukti dan kemungkinan adanya intervensi politik atau tekanan eksternal, dapat mempengaruhi efektivitas penindakan terhadap pelanggaran. Tantangan penegakan hukum gratifikasi antara lain adalah kesulitan membuktikan unsur hubungan sebab akibat antara pemberian gratifikasi dan tindakan atau tidak tindakan yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan penerima.[19] Kemudian adanya budaya balas budi atau tradisi memberi hadiah yang sudah melekat dalam masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa memberi gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah bentuk penghargaan atau ucapan terima kasih atas pelayanan yang diberikan, tanpa bermaksud untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan mereka.

Peran Media dan Masyarakat Sipil

Media dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam mengungkap dan mendesak penegakan hukum terkait gratifikasi.[20] Dinamika ini menunjukkan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam turut menjaga akuntabilitas pemerintahan dengan mengawasi dan melaporkan praktik korupsi dan gratifikasi. Sinergi media dan masyarakat juga dapat membantu memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum dengan memberikan informasi dan dukungan kepada lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas dalam memberantas korupsi dan gratifikasi. Membangun budaya anti-gratifikasi dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan praktik korupsi dan gratifikasi yang mereka temukan.[21]

Dalam rangka memberantas gratifikasi, masyarakat dan media dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian. KPK telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan gratifikasi, seperti melalui kampanye anti-korupsi dan program edukasi.[22] Selain itu, KPK juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memberantas korupsi dan gratifikasi melalui program pelaporan gratifikasi online.[23]

Kesimpulan

Gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Pasal 12B UU TIPIKOR menyebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Mengatasi dinamika gratifikasi dalam praktik Hukum Administrasi Negara memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan perbaikan kebijakan, peningkatan kesadaran hukum dan etika penyelenggara administrasi negara, penguatan pengawasan secara internal dan eksternal terhadap pelaku baik individu maupun organisasi, dan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan untuk mencegah dan memberantas perilaku gratifikasi di lingkungan organisasi penyelenggara administrasi negara dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif terutama media dan masyarakat untuk mengungkap, mendesak penegakan hukum serta melaporkan berbagai kejanggalan dan perilaku yang mengarah kepada upaya gratifikasi.

 

Daftar Pustaka

Ansori, H., Gratifikasi Seksual Dalam Persona Korupsi, Cetakan Kedua, Jakarta : R.A. De. Rozarie, 2015.

Arsyad, H. Jawade Hafidz. Korupsi Dalam Perspektif HAN, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.

 

Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambong. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 1993.

 

Dwiyanto, Agus. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2006.

Jahja , H. Juni Sjafrien. Prinsip   Kehati-hatian Memberantas Manajemen Koruptif Pada Pemerintahan & Korporasi, Jakarta : Visi Media,  2013.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Buku Saku Memahami Gratifikasi, Edisi Kedua, Jakarta : Direktorat Gratifikasi KPK, 2014.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi, Jakarta : Direktorat Gratifikasi KPK,  2015.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi Penyelenggara Negara, Jakarta : KPK, 2009.

 

Lamintang, P.A.F. Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Pioner Jaya,  1991.

 

Siahaan, Monang. Korupsi    Penyakit    Sosial    Yang Mematikan, Jakarta : PT   Elex   Media   Komputindo, 2013.

 

Rio, Fildzah.  Memahami Gratifikasi dan Konflik Kepentingan Sebagai Perwujudan Semangat Anti Korupsi di Lingkungan Kementerian Keuangan, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14773/Memahami-Gratifikasi-dan-Konflik-Kepentingan-Sebagai-Perwujudan-Semangat-Anti-Korupsi-di-Lingkungan-Kementerian-Keuangan.html, 25 Februari 2022.



[1] Daniel  Kaufmann,  Governance  and  Corruption: New Empirical Frontier For Program a Design, dalam T. Mulya Lubis, “Reformasi Hukum Anti  Korupsi” Makalah  Disampaikan  dalam  Konferensi   Menuju Indonesia  Bebas  Korupsi,  Depok,  18   September 1998.

[2]  Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[3] Muladi, “Penguatan Regulasi Gratifikasi Pasal 12B dan 12C UU No.20/2001 Tentang Perubahan Atas UU no.31/1999 tentang Pemberantasan tipikor”, anotasi Hukum yang disampaikan dalam FgD analisis Putusan Pasal Gratifikasi pada Pengadilan Tipikor, di Universitas Diponegoro, 14 September 2016 dan 28 September 2016.

[4] Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, 2010, hal.7

[5] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta : Gramedia, 1991)  216.

[6] Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali,  1985) 14.

[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.Ke-3, Jakarta : UI-Press, 2008), 66.

[8] Sekretariat Jenderal DPR RI - Biro Persidangan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 429-686

[9] Sekretariat Jenderal DPR RI - Biro Persidangan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 429-611

[10] Ansori, H., Gratifikasi Seksual Dalam Persona Korupsi, Cetakan Kedua (Jakarta : R.A. De. Rozarie, 2015), 32.

[11] P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Pioner Jaya,  1991), 362.

[12] Komisi Pemberantasan Korupsi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi Penyelenggara Negara, (Jakarta : KPK, 2009), 4.

[13] Vide Pasal 12 ayat B Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[14] Vide UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 10 ayat (1) huruf e dan penjelasannya.

[15] Vide Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[16] Vide Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[17] Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, Hal. 1.

[18] Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi, 2015. Hal. 1.

[19] Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta, 2010), hal 3-4

[20] H. Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), 70.

[21] Monang Siahaan, Korupsi    Penyakit    Sosial    Yang Mematikan, (Jakarta : PT   Elex   Media   Komputindo, 2013), 127.

[22] H. Juni Sjafrien Jahja, Prinsip   Kehati-hatian Memberantas Manajemen Koruptif Pada Pemerintahan & Korporasi, Jakarta : Visi Media,  2013), 168.

[23] Aplikasi Gratifikasi Online (GOL) yang disediakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui https://gol.kpk.go.id atau dengan mengirimkan email ke alamat pelaporan.gratifikasi@kpk.go.id.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini

Comment

Jual Buku Perundang Undangan

Jual Buku Perundang Undangan
Jual Buku Hukum Ilmu Perundang Undangan : 3 Undang Undang Dasar RI / KUH Perdata / KUHD / KUHP Dan KUHAP / UUD 1945 Best Seller

Artikel Terbaru

>

Popular Posts

Random Artikel

Statistik Kunjungan

Taufik Irawan

Taufik Irawan
Pemerhati Hukum di Palangka Raya
 
Support : Promo dan Konsultasi : taufik.irawan79@yahoo.co.id
Copyright © 2013. Bang UFIK Youtube Channel - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger