Istilah yurisprudensi berasal dari kata latin yaitu “jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum. Kata yurisprudensi dengan istilah teknis Indonesia sama artinya dengan “jurisprudentie” (dalam bahasa Belanda) dan “jurisprudence” (dalam bahasa Prancis), yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan.
Istilah jurisprudence (dalam bahasa Inggris) berarti teori
ilmu hukum (algemene rechtsleer: General
Theory of Law). Sedangkan pengertian yurisprudensi dalam bahasa Indonesia
adalah peradilan tetap atau hukum peradilan, dalam bahasa Inggrisnya disebut
dengan istilah case law atau judge made law (hukum yang dibuat
pengadilan).
Kata “jurisprudenz”
dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum dalam arti sempit atau aliran ilmu
hukum. Kemudian yurisprudensi dalam arti peradilan tetap atau hukum peradilan
dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah
"ueberlieferung”. Dengan
demikian, yurisprudensi adalah rentetan keputusan hakim yang sama bunyinya
tentang masalah yang sama.
Menurut C.S.T. Kansil bahwa, yurisprudensi adalah keputusan
hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim
kemudian mengenai masalah yang sama.16
Kemudian oleh Marwan Mas menjelaskan bahwa, yurisprudensi
adalah putusan hakim yang memuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan
hukum tetap, kemudian diikuti oleh hakim lain dalam peristiwa yang sama.17
Dengan demikian, yurisprudensi itu adalah suatu keputusan hakim yang diikuti
oleh hakim lainnya, dan merupakan sumber hukum dalam arti formal.
Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diperiksa sering
terjadi tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang telah ada. Tindakan
hakim semacam ini dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 22 A.B. (Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 22 A.B berbunyi: “hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili”. Kemudian Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa, “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum itu tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Kedua pasal tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa,
hakim tidak boleh menolak apabila diminta memutuskan perkara, dengan alasan
karena belum ada aturan hukumnya. Akan tetapi, justru dia diminta untuk
menemukan hukumnya, sebab hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil
keputusan berdasarkan ilmu pengetahuannya sendiri dan keyakinannya sendiri.
Doktrin dalam ilmu hukum ialah “curia ius novit”, artinya hakim dianggap mengetahui hukum.
Selanjutnya apabila ternyata peraturan hukumnya ada tetapi kurang jelas, hakim
dengan ilmu pengetahuannya dan kebijaksanaannya dapat menafsirkan peraturan
hukum itu secara positif sedemikian rupa sehingga menurut keyakinannya perkara
itu dapat diputus dengan rasa keadilan.
Kemudian apabila tidak ada peraturan hukum tertulis, hakim
harus mencari peraturan hukum tidak tertulis, kebiasaan-kebiasaan yang hidup
dalam masyarakat. Hakim harus aktif menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini telah dijelaskan dalam
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman yang berbunyi, “hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Jika hakim menolak permintaan itu dikenakan sanksi pidana.
Meskipun pada dasarnya hakim tidak terikat oleh yurisprudensi, tetapi bila ia
menghadapi kasus demikian hakim akan menggunakan yurisprudensi sebagai dasar
pertimbangan keputusannya, bahkan tidak mustahil apabila hakim itu akan
mengikuti keputusan hakim terdahulu jika keputusan itu dianggap sudah tepat dan
adil, sedang kasus yang diperiksa sama atau hampir sama. Keputusan hakim
(yurisprudensi) suatu produk yudikatif, yang isinya berupa kaidah atau
peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum.
Dengan demikian, keputusan hakim itu hanya mengikat kepada
orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum. Jadi
hakim menghasilkan hukum yang berlakunya terbatas pada kasus dari piahak-pihak
tertentu (kasus konkret). Putusan hakim mempunyai kekuatan berlaku untuk
dilaksanakan sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perbedaannya dengan hukum yang dibentuk oleh lembaga
legislatif (undang-undang) adalah bahwa undang-undang itu berisi
peraturan-peraturan yang bersifat abstrak dan berlakunya umum, serta mengikat
setiap orang. Adapun seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain, disebabkan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Pertimbangan
psikologis, yakni karena keputusan hakim mempunyai kekuasaan/kekuatan hukum
terutama keputusan dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Keputusan seorang
hakim lebih tinggi diturut, karena hakim tersebut adalah pengawasan atas
pekerjaan hakim di bawahnya, dan karena jasa-jasanya hakim bawahan segan untuk
tidak menghormati putusan tersebut.
2. Pertimbangan
praktis, yakni apabila tidak mengikuti hakim yang lebih tinggi, maka
kemungkinan besar salah satu pihak akan minta banding.
3. Pendapat yang sama,
yakni dari antara keputusan-keputusan hakim itu ada yang disebut
standard-arrest, yang dimaksudkan ialah keputusan hakim yang secara tegas
menjelaskan suatu persoalan yang menimbulkan keraguan-keraguan. Dengan kata
lain sependapat dengan apa yang telah diputuskan oleh hakim lainnya.
Di dalam praktik kenegaraan, maka penanganan peradilan
dilaksanakan berdasarkan asas-asas tertentu. Asas-asas pokok yang dapat dianut
oleh suatu negara mengenai peradilan tersebut, yaitu ada asas precedent dan ada asas bebas. Asas precedent (stare decisis) yang dianut oleh
negara-negara Anglo Saxon (Inggris, Amerika Serikat), berarti bahwa petugas
peradilan (hakim) terikat atau tidak boleh menyimpang dari keputusan yang lebih
dahulu dari hakim yang lebih tinggi, atau sederajat tingkatnya. Jadi hakim
harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia
dihadapkan pada suatu peristiwa. Di sini hakim berpikir secara induktif.
Menurut R. Soeroso, bahwa asas precedent (stare decisis),
ini berlaku berdasarkan 4 (empat) faktor, yaitu:
1. Bahwa penerapan dari peraturan-peraturan yang sama pada
kasus-kasus yang sama menghasilkan perlakuan yang sama, bagi siapa saja/yang
datang/menghadap pada pengadilan.
2. Bahwa mengikuti precedent secara konsisten dapat
menyumbangkan pendapatnya dalam masalah-masalah di kemudian hari.
3. Bahwa penggunaan kriteria yang mantap untuk menempatkan
masalah-masalah yang baru dapat menghemat waktu dan tenaga.
4. Bahwa pemakaian putusan-putusan yang lebih dahulu
(sebelumnya) menunjukkan adanya kewajiban untuk menghormati kebijaksanaan dan
pengalaman dari pengadilan pada generasi sebelumnya.18
Sedangkan asas bebas
yang dianut oleh negara-negara Kontinental (Belanda, Jerman, Prancis, Italia, Amerika
Latin). Asas ini berpendapat, bahwa petugas peradilan (hakim) tidak terikat
pada keputusan-keputusan hakim terdahulu (sebelumnya) pada tingkatan sejajar
maupun hakim yang lebih tinggi. Di sini hakim berpikir secara deduktif dari
undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus.
Di dalam praktiknya, pelaksanaan masing-masing asas tersebut
di atas tidaklah demikian ketatnya, sehingga perbedaannya satu sama lain
hanyalah pada asasnya saja dan akan menimbulkan hal-hal yang kurang baik
apabila dilaksanakan secara kaku. Di Indonesia dikenal kedua asas tersebut dan
berlaku, yaitu asas bebas bagi peradilan barat, sedangkan asas precedent dapat
dijumpai bagi peradilan hukum adat. Apabila diamati pengertian kedua asas
yurisprudensi tersebut di atas, maka sistem peradilan pada umumnya dikenal dua
sistem, yaitu sistem Kontinental
(asas bebas) dan sistem Anglo Saxon
(asas precedent).
Selanjutnya yurisprudensi itu dapat dibagi atas 2 (dua)
macam, yaitu:
1. Yurisprudensi tetap, yakni keputusan hakim yang terjadi karena rentetan-rentetan keputusan yang sama dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu perkara (standard arresten). Standard adalah dasar atau baku, arresten adalah keputusan Mahkamah Agung. Contoh: Yurisprudensi Belanda yang diikuti oleh Indonesia pada tanggal 23 Mei 1921 Hoge Raad der Nederlanden memutuskan bahwa pencurian tenaga alam seperti tenaga listrik dapat juga dihukum berdasarkan Pasal 362 KUHP, karena pencurian tenaga alam termasuk juga mengambil barang yang sama sekali atau sebagian termasuk milik orang lain secara melawan hukum dengan maksud akan memiliki barang tersebut.
2. Yurisprudensi tidak
tetap, yaitu yurisprudensi (keputusan hakim) yang terdahulu yang belum
masuk menjadi yurisprudensi tetap (standard
arresten). Selain yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak tetap ada
lagi yurisprudensi semi yuridis, dan yurisprudensi administrasi.
Menurut Marwan Mas bahwa yurisprudensi semi yuridis, yaitu
semua penetapan pengadilan berdasarkan permohonan seseorang yang hanya berlaku
khusus pada pemohon. Misalnya, penetapan pengangkatan anak, penetapan
penggantian nama dan sebagainya. Yurisprudensi administrasi, yaitu Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) yang hanya berlaku secara administrasi dan mengikat
intern dalam lingkup peradilan.19
_______________________________
16C.S.T. Kansil, Op-Cit, hlm. 47.
17Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 66.
18R. Soeroso, Op. Cit, hlm. 168.
19Marwan Mas, Op. Cit, hlm. 67.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini