Kebiasaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan suatu bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Jadi kebiasaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan orang secara tetap. Menurut J.B. Daliyo bahwa kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang.12
Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat,
dan kebiasaan selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga
tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran
perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum. Jadi
perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, mempunyai kekuatan yang
mengikat.
Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat orang-orang
lain untuk melakukan hal yang sama, karena menimbulkan keyakinan atau
kesadaran, bahwa hal itu memang patut dilakukan. Contoh kebiasaan orang Dayak
yang mengharuskan perkawinan dilaksanakan melalui sistem endogami, yaitu sistem
perkawinan yang terjadi antar keluarga yang masih terkait dalam suatu rumpun
suku bangsa yang bersangkutan.
Dengan demikian, di negara Indonesia, bahwa kebiasaan
merupakan sumber hukum. Kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan dapat dirumuskan dari
kebiasaan oleh hakim dalam putusannya. Kebiasaan dalam lingkungan masyarakat
tertentu adalah suatu kenyataan yang dapat dilihat, dikonstatir oleh hakim
sebagai suatu peristiwa dan kemudian dirumuskan sebagai peraturan hukum.
Apabila pembentukan peraturan itu selalu dilakukan dalam pengadilan, maka
terdapat hukum kebiasaan di samping undang-undang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa kebiasaan dapat menjadi hukum diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat materiil: adanya kebiasaan atau tingkah laku yang
tetap atau diulang, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung
untuk beberapa waktu lamanya (longa et
invetarata consuetudo).
2. Syarat intelektual: kebiasaan itu harus menimbulkan opinio necessitatis (keyakinan umum)
bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum.
3. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.13
Hukum kebiasaan terdapat kelemahan-kelemahan, sebab tidak
dirumuskan secara jelas dan pada umumnya sukar digali, dikarenakan tidak
tertulis. Di samping itu juga bersifat aneka ragam sehingga tidak menjamin
kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara. Antara hukum kebiasaan dan
undang-undang mempunyai perbedaan, yaitu pada undang-undang merupakan keputusan
pemerintah yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden Pasal 20 ayat
(1), dan (2) UUD 1945).
Sedangkan hukum kebiasaan merupakan peraturan yang timbul
dari pergaulan. Akan tetapi, hukum kebiasaan dan undang-undang itu kedua-duanya
merupakan penegasan pandangan hukum yang terdapat di dalam masyarakat.
Kebiasaan mempunyai tempat yang penting di samping undang-undang. Hukum
ketatanegaraan Indonesia sebagian besar dikuasai oleh kebiasaan yang disebut
dengan istilah convensi (kebiasaan ketatanegaraan), dan tidak mempunyai
kekuatan yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan dalam
praktik ketatanegaraan, seperti pidato kenegaraan Presiden di depan sidang
paripurna DPR setiap tanggal 16 Agustus yang berisikan laporan pelaksanaan
tugas pemerintahan dalam tahun anggaran yang lewat dan arah kebijaksanaan ke
depan.
Ketentuan kebiasaan sebagai hukum di negara Indonesia telah
diatur dalam beberapa pasal perundang-undangan, seperti:
1. A.B. (Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia) pada Pasal 15 yang berbunyi:
“selain pengecualian-pengecualian yang ditetapkan mengenai orang-orang
Indonesia dan orang-orang yang dipersamakan, maka kebiasaan tidak merupakan
hukum kecuali apabila undang-undang menetapkan demikian”.
Berdasar pasal tersebut di atas jelaslah, bahwa kebiasaan itu diakui apabila undang-undang menunjuknya. Ini maksudnya bahwa jika undang-undang tidak menunjuknya hakim tidak perlu memperlakukannya. Jadi apabila dilihat bunyi Pasal 15 A.B. tersebut, maka pada asasnya bahwa pembentuk undang-undang berpendapat bahwa undang-undanglah yang menjadi sumber hukum.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per) pada Pasal
1346, Pasal 1347, Pasal 1339, dan Pasal 1571.
Pasal 1346 KUH Perdata berbunyi: “apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat”.
Pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi: ”hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”.
Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi: “semua perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir
pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Dengan demikian, kebiasaan dalam seluruh hukum perjanjian
diberi kekuatan yang bersifat kontrak. Di dalam hukum dagangpun kebiasaan itu
juga memegang peranan yang penting.
3. A.B. (Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia)/ketentuan umum tentang peraturan
perundang-undangan untuk Indonesia yang di- undangkan pada tanggal 30 April
1847 staatsblad 23/1847, pada Pasal 22 berbunyi: “hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-udangnya
bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap dapat dituntut karena menolak untuk
mengadili”.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, pada Pasal 16 ayat (1) berbunyi: “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Jika dilihat bunyi pada Pasal 22 A.B. dan Pasal 16 ayat (1)
UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jelaslah, bahwa
hakim harus memeriksa dan memutuskan perkara sekalipun hukumnya tidak jelas dan
lengkap. Ini berarti bahwa ia tidak terikat pada undang-undang, sehingga dalam
hal ini kebiasaan mempunyai peranan yang penting. Oleh karena itu, kebiasaan di
Indonesia termasuk sumber hukum.
Apabila terjadi konflik antara hukum kebiasaan dengan
undang-undang, maka penyelesaiannya adalah, jika undang-undang itu bersifat
pelengkap maka hukum kebiasaan mengesampingkan undang-undang. Akan tetapi,
apabila undang-undang itu berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa dan
bertentangan dengan kebiasaan, maka undang-undang mengalahkan hukum kebiasaan.
Selanjutnya di samping hukum kebiasaan sebagai hukum tidak
tertulis ada juga hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) pada umumnya adalah merupakan sinonim dari istilah atau
sebutan hukum adat. Hukum adat
adalah peraturan hukum yang tidak tertulis. Atau hukum adat adalah bagian tata
hukum Indonesia yang berasal dari adat istiadat dan mempunyai sanksi hukum.
Menurut R. Soepomo mengatakan, bahwa hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam.14 Hukum adat menurut
Van Vollenhouven adalah: Hukum yang
tidak bersumber pada perundang-undangan yang dibuat pemerintah, oleh karenanya
ia tidak teratur, tidak sempurna dan tidak tegas. Namun demikian, maka ia
disebut hukum adat karena ia berbeda dari “adat”, ia disebut hukum adat karena
ia mempunyai sanksi (reaksi).15
Hukum adat dan hukum kebiasaan sama-sama hukum yang tidak
tertulis, namun demikian kedua hukum itu mempunyai perbedaan-perbedaan, yaitu:
1. Hukum adat asal usulnya bersifat agak sakral, berasal dari
nenek moyang, agama dan tradisi rakyat, sedangkan hukum kebiasaan sebagian
besar dari kontak antara Timur dan Barat tetapi kemudian dapat diresapi dalam
hukum Indonesia sebagai sesuatu yang asli.
2. Hukum adat dipertahankan oleh para anggota adat, sedangkan
hukum kebiasaan dipertahankan oleh penguasa yang tidak termasuk badan
perundang-undangan.
3. Hukum adat sebagian besar terdiri atas kaidah-kaidah yang tidak tertulis, sedangkan hukum kebiasaan semuanya terdiri atas kaidah-kaidah yang tidak tertulis
__________________________________________
12J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 57.
13Sudino Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 99.
14R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 3.
15Van Vollenhoven dalam Hilman Hadikusumah, Sejarah Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 107.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dan sharing pengetahuan yang relevan disini